Semua bukan berawal tatkala Satriyo Yudiarto mendirikan BPR Bank Surya Yuda Kencana. Atau ketika dia menjadi salah satu manager Bank Of Tokyo. Tapi jiwa interpreneurnya lahir tatkala berusia belia. Sejak kecil Yudi telah terbiasa hidup mandiri. Biaya sekolah diperolehnya dengan menjual layangan, ngobor jangkrik, angon bebek sampai berjualan kue. “Jiwa interpreneur harus diajarkan dan dimulai sejak kecil,” tandasnya.
Sambil menyantap bebek goreng dan sayur lodeh kegemarannya Yudi lantas mengisahkan jungkir balik membangun bisnisnya kepada LIFESTYLE. Mulai dari modal 120 juta hingga BPR Bank Surya Yuda Kencana mampu membukukan asset 847 milyar. Kini dia juga merintis pusat olah raga dan rekreasi terpadu. Dalam wawancara lelaki yang karib disapa “Pak Yudi” ini ditemani beberapa direksi dan sekretaris pribadinya.
Awal kisah dimulai dari masa kecil Yudi yang diliputi dengan kesederhanaan. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri sipil. Jabatannya kepala bagian sosial ekonomi di lingkungan pemerintah kabupaten Banjarnegara, jabatan selevel Camat. Beberapa hal yang diteladani Yudi dari sang ayah: jujur, disiplin dan berwatak keras. Sikap jujur sang ayah inilah yang membuat kehidupan Yudi dan keluarganya boleh dibilang pas-pasan meski tak serta merta disebut miskin.
Demi menopang nafkah keluarga, sang bunda pun mesti berjualan kue dan segala macam bumbu dapur di teras rumah. Jam tiga pagi Yudi telah bangun membantu ibunya menumbuk beras yang akan dipakai membuat kue. Setelah jadi, sambil berangkat sekolah Yudi membawa kue-kue tadi ke warung-warung. “Kalau tidak laku dimakan sendiri dan dibagikan kepada tetangga,” kata Yudi sambil tertawa. Selain itu, Yudi juga menjual layangan, ngobor jangkrik dan angon bebek.
Dalam pergaulan Yudi dikenal sebagai orang yang suka repot. Pekerjaan apa saja, bahkan jadi ‘pesuruh’ pun dia jalani dengan perasaan gembira. Disuruh ngangkut alat-alat band mau, diminta teman mengambilkan minuman oke saja. “Sejak SMA saya suka musik tapi tidak bisa main. Ketika grup band saya tampil tugas saya ya ngangkutin barang. Dapatnya bukan duit, tapi perasaan senang,” katanya. Walau begitu ada hikmah yang dia ambil: bekerja tanpa pamrih. “Jadi orang itu jangan takut capek, jangan takut repot.”
Selepas tamat Sekolah Menengah Atas, Yudi melanjutkan studinya di jurusan teknik sipil Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang. Baru melakoni kuliah pada tingkat satu, dia sudah tidak betah lantaran tenggat belajar di fakultas teknik sangat lama, yakni tujuh tahun. “Nek kuliah pitung tahun adik-adike nyong mangan apa (kalau kuliah tujuh tahun adak-adik saya makan apa),” pikirnya kala itu.
Akhirnya Yudi memutuskan mengambil kuliah lagi Akademi Keuangan dan Perbankan Semarang (sekarang Unisbank). Ketika studinya Akubank rampung, dia baru menyusun tugas akhir teknik sipil Untag. Alhasil studi di Untag tidak dilanjutkan. Dengan berbekal ijazah Diploma Tiga, Yudi melamar di Bank Pasar Pemerintah Daerah Banjarnegara. Dia langsung diterima sebagai direktur utama. Sebuah prestasi luar biasa karena umurnya kala itu baru menginjak 25 tahun.
Karena merasa tidak cocok dengan birokrasi, Yudi memutuskan keluar dari pekerjaannya dan mengadu nasib ke Jakarta. Sebanyak 40 surat lamaran dibikin. Sasarannya kebanyakan dilayangkan ke Badan Usaha Milik Negara dan perusahaan perbankan bonafit. Sayangnya seluruh lamarannya ditolak.
Tak ada usaha yang sia-sia. Di tolak perusahaan dalam negeri, peruntungan justru datang dari bank asing. Singkat cerita Yudi diterima di Bank Of Tokyo pada tahun 1972 sebagai pegawai tingkat rendah. Gaweannya dalam sebulan pertama cuma ngelim amplop. Setelah empat tahun bekerja, dengan gaji 40 ribu per bulan Yudi membeli rumah pertamanya di daerah Cipinang. “Saya pegawai BOT (Bank Of Tokyo) yang pertama kali punya rumah. Teman-teman lain nggak ada yang berani beli karena cicilannya dua puluh tahun,” ungkapnya.
Tahun 1978, Yudi diangkat sebagai Kepala Bagian dan mendapat kesempatan belajar ke Jepang. Sebelum sampai di Jepang, atas instruksi Direktur Utama BOT Indonesia, dia diharuskan meninjau cabang lain di luar negeri, yakni Singapura, Hongkong dan Seoul. Sepulang menimba ilmu dari Negeri Sakura, karirnya terus menanjak, mulai Asisten Manager, Manajer, Senior Manajer. Dan jabatan terahirnya Asisten General Manajer.
Selama di BOT, Yudi mulai kerja pada jam tujuh pagi dan pulang pukul sebelas malam saban hari. Lalu bagaimana dengan keluarga? “Sabtu dan minggu kan libur. Jadi saat itulah waktu saya curahkan untuk mendidik anak. Apakah anak saya terlantar? Tidak. Ketiga anak saya semuanya sekolah ke luar negeri tanpa biaya sepeserpun. Anak pertama disekolahkan ke Jepang, yang kedua studi di Australia dan yang ketiga belajar ke Amerika,” ucapnya bangga.
Kembali ke perjalanan karir. Ketika menjabat sebagai asisten general manager inilah Yudi berkenalan dengan pak Rojo, salah satu nasabahnya yang juga pemilik Bank Perkreditan Rakyat. Ketertarikan mendirikan BPR mulai muncul. Akhirnya pada tahun 1992, dengan modal 120 juta dan bimbingan Pak Rojo, Yudi mendirikan BPR Bank Surya Yuda Kencana. Sedangkan kantor menempati kediaman orang tuanya di RT 3 RW III desa Rejasa, kecamatan Madukara, Banjarnegara.
Walau masih berstatus sebagai manajer di bank lain dengan seabrek kesibukannya, Yudi tetap mampu menjaga ritme kerja BPR. Sepulang kerja, tepatnya jam sebelas malam, dia selalu memeriksa berbagai macam Faxsimili sepanjang empat meter yang berisi berbagai macam laporan. Setiap hari pekerjaan itu dilakoninya hingga Yudi memutuskan untuk pensiun dini.
Di awal berdirinya, hanya memiliki 13 karyawan yang rata-rata hanya lulusan Sekolah Menengah Atas. Dengan telaten Yudi mendidik dan membimbing membimbing mereka, mulai cara menulis angka yang benar, membuat laporan, pembukuan hingga customer service. “Meskipun cuma lulusan SMA, kalau kita mengajari dengan betul, mereka bisa jadi bankir-bankir berkualitas. Kuncinya bukan taraf pendidikan tapi motivasi,” kata Yudi.
Kerja keras akhirnya berbuah. Ekspansi BPR Surya Yuda Kencana yang terus merambah di Jawa Tengah bagian barat. Cabang-cabangnya tersebar di enam kabupaten. Rinciannya: 2 kantor pusat di Banjarnegara dan Wonosobo, 17 kantor cabang, 42 kantor kas dan 2 payment point. Dalam sepuluh tahun ke depan BPR Surya Yuda Kencana ditargetkan punya cabang di seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Pun demikian pertumbuhan aset yang dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang signifikan. Dari modal 120 juta pada 1992 kini memiliki total aset konsilidasi per Desember 2010 sebesar 847,9 milyar. Dengan jumlah tersebut BPR Surya Yuda menempati urutan ketiga BPR dengan aset terbesar di Indonesia. Sedangkan dari sisi profitabilitas, laba yang dibukukan di tahun yang sama sekitar 40 milyar.
Hawa Nirwana di Tepi Serayu
Mengenakan kaos berkerah, topi dan bercelana pendek. Dengan cermat lelaki paruh baya itu mengamati puluhan tukang. Sesekali dia pun memberi instruksi seraya menyapa mereka dengan ramah. “Kepriwe gaweane (bagaimana pekerjaannya),” katanya dengan logat Banyumasan yang kental. Satriyo Yudhiarto, lelaki tersebut, memang tengah sibuk mengembangkan sebuah pusat olahraga dan rekreasi terpadu pertama di Banjarnegara, Surya Yudha Sport Center.
Berdiri di lahan seluas empat hektar, sejumlah fasilitas olahraga tersedia di sini. Antara lain; meja bilyar, lapangan bola voli dan lapangan futsal sintetis ukuran 18 X 30 meter. Terdapat pula GOR serbaguna yang bisa disulap menjadi lapangan bola voli indoor, lima lapangan bulu tangkis atawa sepuluh arena tennis meja.
Sport center ini, kata lelaki yang karib disapa ‘Pak Yudi’ ini, merupakan wujud kepedulian terhadap olahraga. Banyak atlet-atlet lokal yang berlatih dan dibina di sini. Selain itu, sejumlah pegawai bank ini juga memiliki skill di bidang olahraga. Tak mengherankan bila sederet trofi juara -mulai tingkat lokal, regional maupun nasional- terpacak di ruang tamu kantor pusat BPR Surya Yuda Banjarnegara. Bahkan putri pertama Yudi, Milla Feriyanti yang juga termasuk salah satu pemegang saham, adalah mantan atlet nasional tennis lapangan dan sepatu roda.
Selain sarana olahraga, Sport Center juga memiliki gedung pertemuan. Pasalnya Sport Center diperuntukkan pula untuk tempat training bagi pegawai baru. Memang, awalnya kompleks olahraga ini hanya diperuntukkan untuk kalangan internal. Lantaran banyak yang berminat terhadap tempat tersebut, Sport Center mulai disewakan untuk khalayak umum. Biasanya mereka memakainya untuk acara wedding party dan meeting.
Lantaran ramai yang berminat, walhasil peningkatan kualitas fasilitas adalah keniscayaan. Dilengkapi pendingin udara, di dalam ruangan bergaya arsitektur klasik seluas 30 X 24 ini dibangun balkon yang mampu dihubungkan dengan GOR sehingga mampu memuat lebih dari 200 orang. Terdapat pula tiga meeting room bergaya klasik yang berkapasitas 40 hingga 150 orang untuk pendidikan dan pelatihan. Tersedia pula kamar VIP berdesain elegan nan nyaman.
Di samping gedung terhampar empat kolam renang berbagai ukuran, baik anak-anak maupun orang dewasa. Dilengkapi mini water park dan water boom, akan dibuat pula kolam arus. Nah, dalam master plan pengembangan wahana ini, nantinya di atas kolam bakal dibangun hotel kelas bintang lima. “Sangat jarang ada hotel mewah di pedesaan,” ujar Yudi. Sekarang baru ada sepuluh kamar hotel di lantai dua bangunan utama.
Memang wahana wisata ini dikitari alam pedesaan yang masih asri. Apalagi lokasinya berada tepat di pinggir kali serayu. Tenntu saja prospek pengembangan kawasan ini kian cerah. Selain empat hektar lahan yang telah ada, pengelola bakal membeli tanah yang berada di sekitar kompleks. Lahan tersebut rencananya akan dibuat hutan buatan dan fasilitas outbond. Sedangkan sisi selatan kompleke di tepi bantaran sungai akan dipakai untuk dermaga arung jeram sepanjang 100 meter. Pembangunan dermaga berfungsi juga untuk mencegah erosi di daerah aliran sungai.
Masih di dalam area kompleks, telah berdiri sebuah teater. Berbagai pertunjukan akbar bisa digelar di sini. Mulai konser musik, pagelaran wayang kulit hingga pentas adu bakat. Banyak pula yang meminta teater ini dipakai untuk pertandingan tinju.
Satu lagi yang menarik: Pengembangan pusat olahraga dan rekreasi terpadu tidak memakai jasa kontraktor. Dari perencanaan, desain bangunan, modal hingga pengawasan pekerja, semua dikerjakan oleh Yudi sendiri. Menurut Yudi, proyek sebesar ini hanya menelan biaya sekitar 10 milyar. “Saya yang punya duit, saya yang ngawasi, saya yang ngerjakan, saya yang memakai. Jadi irit biaya,” ungkap Yudi. “Kalau pekerjaan ini diserahkan kepada orang lain, apalagi yang suka me-markup anggaran, tentu biayanya bisa berlipat-lipat.”
(oki/muchlas)
Maju terus desaku..tunjukan kiprahmu bapak..bangun desa kita.
Selamat dan sukses pak Yudi atas keberhasilan menjadi bankir yang baik salam buat keluarga, pak Agus, pak Yun (teman SD) dan bu Ely tks