Nasihat Ibu menjadi Pedoman

AKBP Dra. Yosepha Sri Suari Msi

Kapolres Bantul

 Nasihat Ibu menjadi Pedoman

 Salah satu wanita yang berhasil mewujudkan cita-cita RA Kartini untuk mensejajarkan derajat kaum wanita adalah seorang polisi yang satu ini, AKBP Dra. Yosepha Sri Suari Msi. Jabatannya bukan sembangan, Dia bertugas sebagai Kepala kepolisian Resor Bantul Polda Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Tuhan menuliskan cerita getir pada masa kecilnya. Sri Suari tak pernah mendapat belaian kasih sayang seorang ayah lantara telah tiada saat usianya baru sembilan bulan. Setelah sang ayah berpulang ke hadapan Tuhan, ibunya kembali ke tempat asalnya, yaitu Bima, Nusa Tenggara Barat. Sri sendiri mengahabiskan masa belianya dibawah asuhan kakeknya.

Tamat SMP di Bima, Sri melanjutkan studinya ke Sekolah Menengan Atas di Pulau Lombok. Awalnya dia tidak berniat masuk SMA, tetapi memilih Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) yang ada di Mataram, Lombok Barat. Karenan gagal menjalani tes praktek, akhirnya Sri masuk SMA Katolik Mataram. Ketika mencapai kelas 3 ada sebuah pengumuman penerimaan polisi wanita (Polwan). Setelah menjalani tes, dia diterima. Lalu, bersama 6 rekannya dari Lombok, Sri mesti menempuh pendidikan di Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan), Pasar Jumat, Jakarta Selatan.

Sebelum berangkat pendidikan, ada petuah dari pamannya yang selalu diingatnya: “Kamu tidak boleh ada dibelakang.” Maksudnya, selama menempuh pendidikan harus jadi yang terbaik. Sebab hanya dengan menjadi yang terbaiklah karir seorang polisi bisa bagus. Di Sepolwan, Sri dididik bersama 420 calon polisi wanita dari berbagai wilayah di Indonesia.

Tahu diri, Tahan diri dan Harga diri

Sejak kecil sang bunda selalu mengajarkannya untuk menjadi seseorang yang tahu diri, tahan diri dan memiliki harga diri. Artinya, harus tahu diri jika meminta sesuatu karena pada saat itu kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Sehingga harus tahu diri dan akhirnya mesti tahan diri dengan hal-hal yang terkait dengan keinginan.

Ketiga kalimat tersebut selalu tersimpan dalam memorinya. Semangatnya membara ketika menjalani pendidikan calon polisi wanita. Bahkan, di penghujung pendidikan, dia mendapat predikat the best ten atau sepuluh terbaik diantara 420 calon polisi wanita. Dia pun terpilih menjadi instruktur di Sepolwan Jakarta dengan pangkat Sersan Dua pada tahun 1983.

Nasehat dari ibunya tentang ketiga hal tersebut, yakni tahu diri, tahan diri dan harga diri hingga kini melakat erat dalam dirinya. Baik dalam berperilaku maupun berpikir. Tahu diri, diterapkannya ketika menjadi instruktur di Sepolwan, dimana dia selalu berpikir bagaimana caranya menjadi berharga di mata para shohibnya, bukan dinilai dari harta benda.

Dari situ muncul jawaban, yakni harus lebih mumpuni ketimbang teman-temannya yang lain agar memiliki harga diri. Secara diam-diam dia lantas menanamkan dalam dirinya untuk tampil rapi, disiplin, bersih dan smart. “Sebenarnya saya terbiasa melakukannya sejak kecil,” ungkapnya.

Keinginan untuk lebih dari para sejawat itu juga memicunya tidak hanya puas dengan ijazah SMA. Pada waktu itu, pendidikan sarjana bagi Polwan cuma ada di LAN (Lembaga Administrasi Negara). Persyaratannya harus dua tahun masa kerja. Namun Sri harus mengubur mimpinya lantara belum memenuhi persyaratan tersebut. Sebenarnya, pada tahun 1984, ada berita bahwa bakal ada penerimaan taruni Akademi Kepolisisan. Sayang, tahun demi tahun kabar beritanya tak muncul lagi.

Kendati impiannya menjadi taruri Akpol sirna, Sri Suari justru mendapat anugerah lain dari Tuhan. Dia bertemu dengan belahan hatinya. Semua bermula saat ada mahasiswa dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisisan (PTIK) belajar menembak di lapangan tembak Sepolwan. Nah, salah satu pendamping dari PTIK adalah Ignatius Sri Wahyudi. Dialah yang kini menjadi suaminya.

Dalam menentukan calon suami, Sri Suari sebenarnya telah mematok sederet persyaratan, diantaranya harus sarjana, perwira dan seiman. Pokoknya bibit, bebet dan bobot benar-benar diperhatikan. Setelah melakukan pendekatan dengan orang tua, akhirnya dia diperbolehkan menikah. Tapi ada sedikit rasa ketakutan karena merasa masih kecil walau sudah menginjak usia 23 tahun. Dan secara diam-diam dia lantas mengambil pendidikan kejuruan reserse di Kepolisian selama 3 bulan. Sehingga rencana menikah diundur menjadi 19 Oktober 1986 setelah menyelesaikan pendidikan kejuruan.

Selepas mengakhiri masa lajangnya, kesempatan kuliah muncul. Kebetulan di tahun 1992, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian membuka program studi Diploma III Ilmu Kepolisian khusus untuk Polwan. Setelah terpilih menjadi salah satu siswa, dia berusaha menunjukkan kepada semua orang bahwa dia memang mampu. Hasilnya luar bias. Sri Suari dinyatakan sebagai lulusan terbaik. Predikat terbaik pun diperoleh kembali tatkala melanjutkan jenjang pendidikan di program Strata I PTIK dan bergabung dengan perwira lulusan dari Akademi Kepolisian.

Mulai dari situ karirnya menanjak. Dia ditugaskan menjadi asisten pribadi Kapolda Jawa Tengah lalu kembali lagi ke Jakarta dan dipercaya sebagai asisten Kapolda Metro Jaya. Akhir tahun 2000 sampai 2004, Sri mendapat promosi jabatan sebagai Kapolsek Bandara Soekarno Hatta. Kemudian tugasnya beralih menjadi penyidik perempuan dan anak Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Metro Jaya. Tahun 2006 dia dipindahkan ke Bareskim Mabes Polri sebagai Satgas Anti Trafficking. Pada tahun 2007 hingga 2010 menjadi asisten pribadi Wakapolri. Akhirnya pada tahun 2011 dipercaya sebagai Kapolres Bantul Yogyakarta. (El)

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: