Secuil Catatan Dunia Pendidikan

Kualitas pendidikan tinggi secara nasional kalah bila dibandingkan negara-negara lain di dunia. Lihat saja peringkat universitas yang dirilis Times Higher Education, perguruan tinggi Indonesia masih terpuruk di dasar klasemen. Jangankan dengan negara barat, di Asia Tenggara pun peringkat perguruan tinggi kita belum bisa bersaing bila disandingkan dengan Singapura, Thailand dan saudara serumpun kita, Malaysia. Sungguh ironis. Padahal Malaysia dan Thailand pernah berguru pada Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, mengapa hal ini bisa terjadi? Persolan mendasar sangat terkait tingkat kesejahteraan bangsa itu sendiri. Ambil contoh Malaysia yang perkembangan cukup fenomenal. Pada era 70-an, Negeri Jiran banyak mendatangkan guru dari Indonesia dengan bayaran tinggi. ”Istilahnya wani ragad (berani mengeluarkan modal),” imbuh Prof. Dr. Ongko Cahyono, pakar pendidikan Universitas Tunas Pembangunan Surakarta. Imbasnya luar biasa. Kemajuan pendidikan berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya.

Di Malaysia, kesejahteraan guru sangat diperhatikan. Gaji terendah seorang guru bisa mencapai 5-6 juta sebulan. Walau bukan satu-satunya, kesejahteraan guru berpengaruh besar pada kemajuan pendidikan. Bagaimana mungkin seorang pendidik bisa konsentrasi mengajar bila harus berpikir mencari kerja sambilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?

Pemerintah Malaysia juga mempermudah akses bagi para guru untuk mengambil studi lanjutan, baik program master maupun doktoral, dengan biaya sangat terjangkau. Walhasil para guru berlomba-lomba meningkatkan taraf pedidikannya. Selan itu, peningkatan kualitas pendidik ditunjang pula melalui pelatihan atau workshop untuk mensosialisasikan teknologi-teknologi baru. Biayanya ditanggung oleh negara agar mereka fokus terhadap materi yang diberikan.

Memang kini kebijakan pemerintah Indonesia telah berpihak pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru dan dosen. Penerapannya melalui pemberian tunjangan profesi bila para pendidik lolos uji sertifikasi. Besarnya tunjangan dua kali jumlah gaji pokok. Sayangnya peningkatan kesejahteraan bakal seiring dengan terkatrolnya kualitas masih jauh dari harapan. Para pendidik kita hanya berorientasi pada kenaikan gaji semata, soal kualitas justru dinomorduakan.

Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa dalam sertifikasi ada guru-guru yang melakukan hal-hal yang tidak sesuai prosedur. Contoh kecil ketika mengisi persyaratan portofolio. Banyak piagam-piagam seminar atau sertifikat-sertifikat lain yang tidak pernah mereka ikuti. Singkat kata mereka dibantu orang lain. ”Bila dinilai betul mungkin banyak guru yang tidak lolos sertifikasi. Artinya tujuan sertifikasi kan belum sesuai harapan,” pria kelahiran Trenggalek, 25 Oktober 1958 ini menjelaskan.

PTS Mulai Diminati

Masih kental terasa sebuah paradigma bahwa masyarakat lebih menempatkan Perguruan Tinggi Negeri sebagai pilihan utama. Khalayak beranggapan mutu dan gengsi PTN lebih baik ketimbang Perguruan Tinggi Swasta.

Wajar bila ada pendapat demikian. Dari sisi kualitas PTN memang lebih unggul sebab disokong anggaran negara. Sedangkan PTS harus kerja keras menutup seluruh biaya operasional serta penyediaan sarana prasarananya sendiri. Perhatian pemerintah untuk kalangan swasta masih dirasa terlampau kecil. Sehingga PTS sulit bersaing dengan PTS. Padahal peran PTS sangat signifikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menurut Prof. Dr. Ongko Cahyono, Rektor Universitas Tunas Pembangunan Surakarta, kini pemerintah mulai membuka keran persaingan diantara perguruan tinggi. Alhasil PTS pun kebagian jatah dari anggaran pendidikan. Ada yang dikucurkan secara langsung, ada pula yang diberikan melalui hibah kompetisi. ”Langkah pemerintah sudah tepat untuk memacu persaingan yang fair dalam meningkatkan kualitas perguruan tinggi,” katanya. Sejak digulirkan lima tahun silam, UTP sendiri kerap mendapat hibah-hibah kompetisi. Dana hibah dipakai untuk pengembangan sarana dan prasarana kampus, baik fasilitas fisik maupun Sumber Daya Manusia.

Peningkatan kualitas sarana dan prasarana memang berdampak pada anemo masyarakat. Sempat terpuruk karena terimbas reformasi tahun 1998, UTP terus berbenah. Mahasiswa UTP sekarang berjumlah sekitar lebih dari lima ribu orang. Mahasiswa tersebar di empat fakultas, yakni Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, serta Fakultas Ekonomi.

Seiring kebijakan pemerintah meningkatkan gaji guru minat masyarakat masuk FKIP juga besar, terutama pendidikan olahraga. Pasalnya UTP adalah satu-satunya PTS di Jawa Tengah yang diberi wewenang menyelenggarakan program studi pendidikan olahraga. Selain itu, Fakultas Pertanian juga ramai peminat. Pemicunya, banyak industri pertanian di luar Jawa mulai bergairah kembali. ”Kita punya nota kesepahaman dengan Astra Group, dalam penelitian dan penyediaan tenaga kerja,” ungkap Sang Profesor di akhir perbincangan.

Pendidikan Karakter

Saat ini perguruan tinggi masih berorientasi pada mencerdaskan bangsa. Dengan kata lain perguruan tinggi hanya mendidik orang agar menjadi pintar dan mudah mencari pekerjaan. Dari sisi kuantitas pemerintah sukses meningkatkan jumlah sarjana, baik S1, S2 maupun S3. Artinya jumlah manusia yang cerdas dari tahun ke tahun terus meningkat.

Namun bila kita menyimak tujuan pendidikan nasional, tentu saja hal ini belum lengkap. Selain mencerdaskan, lembaga pendidikan seharusnya turut membangun manusia seutuhnya. Artinya mendidik manusia agar sejahtera lahir maupun batin. Jadi, selain meningkatkan kemampuan intelektual, lembaga pendidikan harus mampu membimbing seseorang agar lebih mulia akhlaqnya.

Tujuan inilah yang belum tercapai. Banyak sekali perguruan tinggi menghasilkan manusia-manusia yang cerdas tapi kualitas akhlaqnya masih dipertanyakan. Buktinya Korupsi, kolusi, nepotisme yang dilakukan kaum-kaum terdidik masih merajalela. Bahkan di kalangan pendidik sendiri masih ada praktik-praktik kecurangan. Misalnya saat ujian nasional, banyak sekolah menghalalkan segala cara agar anak didiknya lulus seratus persen.

Nampaknya bangsa ini telah mengalami pergeseran perilaku. Lebih tepatnya bisa dibilang terjadi degradasi moral. Dan merubah perilaku buruk yang kadung melekat tersebut jelas bukan perkara gampang. Mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi telah terbentuk karakternya, sejak taman kanak-kanak, sekolah dasar dan menengah. ”Sangat susah merubah karakter seseorang kalau hanya dilakukan di perguruan tinggi. Maka pembentukan karakter perlu ditanamkan sejak usia dini,” kata Prof. Dr. Ongko Cahyono. Pendidikan karakter ini pun tak cukup kalau diajarkan secara teoritis semata. Praktek dalam keluarga maupun masyarakat wajib dilaksanakan. oki-lifestyle

 

 

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: