Cerita – cerita memilukan perihal buruh migran seakan tak habis menghiasi perjalanan bangsa ini. Perlakuan sadis majikan hingga hukuman mati TKW selalu saja menjadi berita yang kerap menghiasi medi masa. Kali ini kejadian nahas menimpa salah satu pahlawan devisa. Pada Sabtu, 18 Juni silam, Ruyati – tenaga kerja wanita asal bekasi – dihukum pancung oleh kerajaan Arab Saudi. Geram, sedih, shocked. Semua bercampur dalam perasaan keluarga mendiang, termasuk seluruh masyarakat negeri ini.
Peristiwa ini langsung mengundang reaksi publik. Birokrasi dinilai gagal memberikan pekerjaan yang layak sehingga banyak warga negara kita ‘mengungsi’ ke negeri orang untuk mengadu nasib. Ironisnya lagi pekerjaan mereka hanyalah pembantu rumah tangga dan kerap menerima risiko disiksa majikan. Mayoritas khalayak juga menuding pemerintah tidak becus mengurus warganya di luar negeri.
Padahal para TKW memberikan keuntungan luar biasa bagi negara. Pundi-pundi devisa terus bertambah seiring kian banyaknya TKW yang dikirim ke luar negeri. Namun di tengah perjuangan pahlawan devisa menyumbang pemasukan negara, para para elit politik dan birokrasi malah berbuat nista. Duit negara dijadikan bancaan untuk mengisi kantong para pejabat.
Korupsi seakan membudaya. Dan rasanya sulit memberangus korupsi di negeri ini. Jangankan menghilangkan praktek, ‘pencurian’ uang negara ini terus meningkat dari waktu ke waktu. Bukan kebetulan bila indeks persepsi korupsi di Indonesia dalam lima bulan terahir pada 2011 sudah mencapai angka 2,8. Bahkan menurut data data Political & Economic Risk Consultancy (PERC), Indonesia menjadi pemuncak klasemen negara terkorup di Asia Pasifik.
Ironis memang. Tatkala pemerintah menggembar-gemborkan gerakan anti korupsi, justru jumlah maling-maling berdasi kian bertambah. Anggota DPR merupakan pelaku terbanyak dalam kasus-kasus korupsi. Pada tahun 2010 sebanyak 27 anggota dewan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Lebih parahnya lagi, lembaga-lembaga penegak hukum malah jadi sarang koruptor. Lihat saja, sudah puluhan hakim, jaksa dan perwira polisi dijebloskan ke bui gara-gara menyalahgunakan wewewangnya. Bagaimana Indonesia bisa ‘bersih, bila oknum-oknum Kejaksaan, Kehakiman, Kepolisian masih saja berbuat ‘kotor’.
Bila dipikir mendalam, derajat para koruptor ini lebih rendah dari perompak Somalia. Sebab uang yang dirampok para lanun itu berasal dari bangsa lain. Sedangkan koruptor justru menguras duit negara yang seharusnya dibuat untuk pembangunan.
Memberantas budaya korupsi jelas tak segampang membalik tangan. Perlu komitmen dan sinergi antara pejabat dan masyarakat. Tanpa ada kerjasama kedua elemen tersebut, memberangus korupsi hanyalah isapan jempol.