Bukan saja dari segi jumlah yang paling banyak dibanding tenaga kesehatan lain (dokter, bidan, apoteker dan para medis lainnya), tapi perannya yang begitu vital, dalam tugas pelayanan kesehatan. Karena perawatlah yang hampir 24 jam berada di samping penderita sakit.
’Benar, memang dokter yang membawa pasien ke rumah sakit. Tapi ingat perawatlah yang membawa kembali pasien ke rumah sakit’’ ungkap Eddy Wuryanto Skp, Ketua PPNI Jateng mengilustrasikan, betapa strategisnya keberadaan sosok pemilik ‘kap putih’ tersebut.
Hanya sayangnya, beban kerja yang berat itu, tidak berbanding lurus dengan apresiasi terhadap kinerjanya. Dalam banyak hal, apreasiasi perawat jauh tertinggal dari sejawatnya tenaga kesehatan yang lain. ‘’ Misalnya soal kebijakan karir, insentif, tunjangan fungsional (seperti guru) remuenasi (seperti jaksa dan polisi)-perawat tidak ada, jasa pelayanan yang rendah’’
Menurut Eddy Wur akibat kondisi yang demikian, menyebabkan kepuasan kerja perawat menjadi kurang. Dari penelitiannya kepuasan perawat dalam menjalankan pekerjaanya hanya 50 persen, itu berarti yang 50 persen tingkat kepuasan kurang baik. ‘’ Inilah yang kemudian berdampak pada perawat, sehingga untuk tersenyum saja sulit, pasien menunggu lama karena tidak direspon cepat. Disatu sisi memang ada kemampuan skill yang kurang, tapi di sisi lain ada banyak hal yang perlu diperbaiki’’ terang Eddy dengan mimik serius.
Sementara mengaitkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, termasuk kualitas berstandart international, tambah Eddy Wuryanto lebih lanjut, tantangan terberat ada pada kualitas SDM (Sumber Daya Manusia).Karena melekatkan pada pelayanan standart internasional, maka yang pertama harus disesuaikan adalah : standart pelayanan, standart SDM yang juga harus menggunakan standar internasional.
Sesuai dengan ketentuan ICN (International Council of Nurses), yang mewajibkan seluruh tenaga keperawatan yang bekerja di sektor pelayanan kesehatan harus bersertifikasi standar pelayanan internasional, dimana regulasinya yang menetapkan ICN.
Pada hal kondisinya sekarang, sebagian besar (70%) tenaga keperawatan di Indonesia, ada pada level vokasi dan Diploma III, sementara yang level Nurse baru 30 %. Maka untuk bisa memenuhi tuntutan pelayanan berstandart internasional, komposisi SDM perawat harus dirubah menjadi 70 % adalah yang bersertifikasi Nurse.
‘’ Ini yang menjadi tantangan PPNI Jateng, untuk fokus dalam peningkatkan kualitas pelayanan, melalui peningkatan kualitas SDM, dengan cara terus mengasah kemampuan knowlege, skille dan attitude. Ini sangat diperlukan untuk mengimbangi SDM tenaga kesehatan lain yang rata-rata kualitas akademiknya sudah lebih tinggi.
Kompetensi.
Upaya lain yang kini tengah diupayakan PPNI untuk meningkatkan kualitas SDM perawat adalah lewat kompetensi. Sesuai Permenkes No 161, tentang registrasi tenaga kesehatan menyebutkan seluruh perawat yang bekerja atau akan bekerja, harus melewati mekanisme uji komptensi. ‘’ Ini sebuah kemajuan, meskipun belum ter sertifikasi secara internasional oleh ICN’’ tambah Eddy.
Untuk mencapai standart SDM yang berkualitas, perlu ditunjang dengan sistim pendidikan yang baik. Di Jawa Tengah kini terdapat sekitar 78 Perguruan Tinggi Keperawatan, yang setiap tahunnya menghasilkan lulusan perawat 5000-5500 orang. Sebagian besar Perguruan Tinggi Keperawatan telah terakreditasi BAN PT, sebagian lagi terakreditasi di Kemenkes.
PPNI juga merespon terhadap tuntutan pihak luar. Karena para lulusannya itu sekarang tidak hanya bekerja di dalam negeri saja, melainkan juga bekerja di luar negeri. Untuk itu PPNI juga harus menyesuaikan dengan regulasinya. Sehingga ke depan SDM perawat kita tidak kalah bersaing dengan tenaga kesehatan asing.
Langkah lain PPNI Jateng telah menyiapkan Nursing Centre di Ungaran Kabupaten Semarang yang nantinya akan digunakan sebagai pusat Diklat, Uji Kompetensi, Pusat Penelitian dan Kantor Sekretariat PPNI. Gedung baru yang menelan anggaran 3 M. diharapkan sudah bisa ditempati awal tahun 2012.
Masih Minim
Sementara menyinggung penyerapan lulusan perawat baik di dalam maupun luar negeri, Eddy mengatakan lulusan perawat dari berbagai perguruan tinggi pada pasar kerja di dalam negeri selama ini cenderung minim.
“Setiap tahun, perguruan tinggi se-Jateng menghasilkan setidaknya 5.000 lulusan perawat, namun yang terserap pasar dalam negeri hanya sekitar 1.000 orang,” jelas Ketua PPNI Jateng, Edy Wuryanto, di Semarang, Rabu .
Ia mengakui, minimnya penyerapan lulusan perawat itu disebabkan sudah banyaknya lulusan yang dihasilkan selama ini, sehingga sudah banyak yang terserap di pangsa dalam negeri, seperti di rumah-rumah sakit (RS).
Kenyataan itu, kata dia, sebenarnya berkebalikan dengan kondisi negara-negara lain yang tengah membutuhkan tenaga perawat dalam jumlah relative besar, seperti Jepang dan negara-negara di kawasan Timur Tengah.
“Ini (terbukanya pasar luar negeri, red.) sebenarnya menjadi peluang baru yang harus digarap, namun ada banyak kendala lulusan perawat ini bekerja di luar negeri, mulai motivasi, sistem, hingga aspek gender,” katanya.
Untuk aspek motivasi, kata dia, lulusan perawat kebanyakan mengandalkan penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) yang dianggap lebih menjanjikan, padahal gaji yang diterima jika bekerja di luar negeri lebih besar.
“Kebanyakan lulusan perawat memang perempuan. Ini menjadi kendala tersendiri bekerja di luar negeri, karena biasanya keluarga tidak mengizinkan anak perempuannya bekerja jauh, apalagi sampai luar negeri,” katanya.
Kalau dari sistem, kata Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) itu, sejumlah negara sudah menerapkan aturan ketat, semacam standarisasi internasional bagi tenaga kerja asing, termasuk perawat.
Ia menyebutkan, Jepang dan negara Timur Tengah, seperti Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait belum terlalu ketat mensyaratkan, tetapi Singapura, Australia, Eropa, dan Amerika Serikat mensyaratkan ketat.
“Karena itu, banyak lulusan perawat Indonesia yang memilih bekerja di negara kawasan Timur Tengah dan Jepang, namun saat ini kami sudah menyiapkan pendidikan sesuai standarisasi internasional bagi perawat,” katanya.
Pangsa kerja perawat di luar negeri yang cukup besar tersebut, kata dia, selama ini memang belum tergarap baik, seperti pada 2011 lalu, permintaan 15.000 perawat untuk kerja di Jepang, hanya terpenuhi sekitar 600 orang.
“Sayang kalau seperti ini, kita sebenarnya bersaing dengan Filipina yang juga banyak mengirim tenaga perawat ke luar negeri. Kecenderungan selama ini, perawat-perawat kita (Indonesia, red.) yang dipilih,” katanya.
Jumlah perguruan tinggi di Jateng yang menghasilkan sarjana (S1) perawat, kata Edy, setidaknya ada 28 unit, belum termasuk yang menghasilkan perawat lulusan diploma 3 (D3) dan D4 sekitar 50 perguruan tinggi. (Bangsar/ Wan )
kenapa perawat sekarang tidak pernah melakukan pemeriksaan fisik dalam melakukan pengkajian, saya sendiri bingung juga mau melakukan pf tapi tiap rumah sakit format pf tidak sama,trus mau didokumentasi dimana? saran saya untuk ppni mungkinbisa diteruskannke tiap rs bidang keperawatan untuk menggunakan format pemeriksaan fisik yang baku. makasih.
selamat atas terpilihnya ketua ppni rs tugurejo semarang Bp. Riono, S.Kep