Masyarakat Bali dikenal kental dengan budaya patrilinial (purusa). Budaya yang dianut itu menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa yang berhak mengurus dan meneruskan swadharma atau tanggung jawab keluarga. Baik dalam hubungan dengan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu) maupun palemahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu).
Walhasil laki-laki memiliki hak dan kedudukan istimewa karena akan memikul tanggung jawab keluarga. Inilah yang menjadi penyebab diskriminasi gender. Dalam hal memperoleh pendidikan misalnya. Rata-rata orang Bali lebih mengutamakan anak laki-laki untuk mengeyam pendidikan setinggi-tingginya. Sedangkan kaum perempuan jarang yang mendapat pendidikan sesuai keinginan.
“Perspektif pemikiran orang Bali pada umumnya menempatkan anak laki-laki seolah-olah lebih penting dibanding anak perempuan. Sebagian besar masyarakat Bali belum merasa lengkap kalau belum mempunyai anak laki-laki. Sehingga dalam pemberian kesempatan mengenyam pendidikan pun laki-laki lebih didahulukan,” kata Ida Ayu Indra Kondi S. Wananjaya, S.H., M.Kn, tokoh wanita Bali, saat ditemui LIFESTYLE.
Namun jaman telah berubah. Sehingga pola pikir orang Bali pun kian moderat. Kini telah banyak anak-anak perempuan Bali mendapat kesempatan mengenyam pendidikan hingga level perguruan tinggi.
Sayangnya di daerah pedesaan, perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan masih kerap dijumpai. Menurut Ida, kesalahan tidak boleh sepenuhnya dialamatkan pada mereka. Sebab warisan budaya patrilinial kadung melekat selama berabad-abad. “Masyarakat Bali menganggap anak laki-laki diharapkan sebagai penerus keluarga dengan berbagai tanggung jawab dan kewajiban adat yang harus dipikul,” ujar istri Ida Bagus Gede Wananjaya ini.
Kondisi tersebut membuat alumni Pasca Sarjana Unair Surabaya ini tegerak hatinya. Dia menambahkan, langkah yang mesti ditempuh adalah advokasi serta sosialisasi lembaga-lembaga adat atau pemuka agama tentang kesetaraan gender. Karena perempuan pun dapat menjadi penerus tanggung jawab adat dalam keluarga. “Sehingga orang tua barang kali tidak merasa rugi jika menyekolahkan anak perempuannya sama tinggi dengan anak laki-laki,” jelas wanita kelahiran Klungkung, 13 Nopember 1965 ini.
Sukar disanggah, pendidikan amat penting untuk menunjang masa depan seseorang. Di sinilah orang tua harus mulai memikirkannya secara jernih. “Budaya yang luhur yang sudah dijalankan sejak dulu tetap dapat dilestari kan. Hanya saja jangan menimbulkan ketimpangan atau kerugian bagi pihak tertentu, dalam hal ini perempuan Bali,” kata putri Drs. Ida Bagus Oka Puniatmaja, salah satu tokoh pendiri Parisadha Bali ini.
Sesungguhnya, kata wanita berdarah pendeta ini, ajaran Hindu menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Jadi sudah selayaknya ajaran-ajaran Hindu itu dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Imbasnya, pelaksanaan adat dan budaya tidak lagi menjadi momok bagi perempuan Bali. (Adi/Ely)
Recent Comments