Gus Irawan Pasaribu, Menuju Sumut Sejahtera


Visi – missi Gus Irawan pun sederhana saja. “Menuju Sumut Sejahtera”. Dan banyak kalangan yakin, suami Asrida Siregar tersebut mampu mewujudkannya. Maklum, dia 22 tahun meniti tangga karir di PT Bank Sumut hingga menjabat Direktur Utama.
Dimasa kepemimpinan ayah dari 3 anak ini, Bank Sumut mencapai beberapa prestasi terbaik tingkat nasional. Bank yang semula hanya memiliki modal Rp 60 miliar dan pada tahun 1999 merugi Rp 300 milliar, pada kepemimpinan Gus Irawan Bank milik Pemprov Sumut itu berkembang hingga memiliki aset Rp 20 trilliun, dan setiap tahun mencetak laba lebih Rp 700 miliar .
Selaku Ketua Umum KONI Sumut, dia juga berhasil menorehkan lompatan prestasi. Jika pada PON 2004 Palembang, KONI Sumut berada di urutan 12, maka pada PON 2008 di Kaltim, Sumut berada di urutan 7.
Kepercayaan publik pada Gus Irawan makin menguat tatkala melihat track record saudara-saudaranya yang duduk di pemerintahan sudah teruji. Sebut saja abang kandungnya Bomer Pasaribu (mantan Menteri Tenaga Kerja), Panusunan Pasaribu (mantan Bupati Tapanuli Tengah) dan Syahrul Pasaribu (Bupati Tapanuli Selatan) yang masih menjabat hingga kini
Meski demikian Gus Irawan tetap menggalang dukungan lebih luas dengan meresmikan Gus Center sekaligus peluncuran website www.gusirawan.com dan versi mobile m.gusirawan.com.
“Saya berharap, Gus Center ini bisa menjadi titik awal menggalang kekuatan untuk menyejahterakan masyarakat Sumut,” terangnya.
Ditengah kesibukannya yang padat, Gus Irawan Pasaribu, SE,Ak, MM menerima Robinson Simarmata dari LIFESTYLE untuk sebuah wawancara eksklusif di kantor KONI Sumut belum lama ini. Berikut petikannya.

Menurut Anda program apa yang paling cepat mengentaskan kemiskinan di daerah ini?
Dalam visi-misi saya sebagai calon gubernur Sumut singkat saja; SUMUT SEJAHTERA. Saya paham bahwa menyejahterakan masyarakat tidak cukup hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih pada pemberdayaan masyarakat madani. Sekarang pertumbuhan ekonomi Sumut cukup bagus, 6,58%. Tapi masyarakat tidak begitu merasakan pertumbuhan itu karena lebih besar disumbangkan sektor konsumsi. Sialnya lagi, yang menikmati keuntungan terbesar justru warga asing karena banyak produk yang dijual di pasaran merupakan import. Beras import, buah import, daging import, kacang kedele import, bahkan garam pun import. Atau barang diproduksi dalam negeri tapi pemilik perusahaannya orang asing.
Sumut juga sama. Sektor terbesar kedua penyumbang pertumbuhan ekonomi adalah perkebunan. Tapi sekitar 20%-30% perkebunan di Sumut adalah milik asing, termasuk warga Malaysia yang menguasai banyak kebun-kebun sawit di Sumut. Selebihnya milik negara / Swasta. Sedikit sekali yang dimiliki oleh masyarakat.
Nah, saya ingin menyejahterakan masyarakat terutama mereka yang berada di garis paling bawah. Sebagai orang yang bekerja di bank selama 22 tahun, memberi pengalaman bagi saya untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. 5 tahun lalu saya menggagas skim kredit kerakyatan kepada nasabah yang sangat-sangat mikro. Hanya dalam tempo 1 tahun sudah ada 3.700 nasabah. Kepatuhan mereka mengembalikan pinjaman, luar biasa baik dengan Nonperforming Loan (NPL) alias kredit macet 0%. Artinya tak seorang pun yang menunggak. Sekarang banyak usaha mereka yang bertumbuh dan bisa mensejahterakan keluarganya. Jumlah mereka sekarang mencapai 77.000 nasabah.
Dengan pengalaman itu maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memberdayakan usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Membangun UMKM menggunakan rumus 3 P, yakni Pemberdayaan, Pendanaan dan Pendampingan. UMKM tidak bisa ujug-ujug diberi bantuan modal. Mereka harus terlebih dahulu dibekali bagaimana memutar modal agar produktif. Pembekalan ini merupakan kewajiban pemerintah. Setelah punya skill, barulah diberi modal. Setelah diberi modal, harus didampingi agar mereka disiplin. Artinya, jangan sampai modal usaha digunakan untuk keperluan lain.
Setelah UMKM terbangun, barulah perusahaan-perusahaan besar didirikan dengan menarik investor.

Apa potensi ekonomi terbesar Sumatera Utara?
Sumber daya alam Sumut demikian lengkap. Kesuburan alam sangat cocok untuk mengembangkan pertanian. Kita tahu banyak hasil pertanian dan perkebunan Sumut merupakan yang terbaik di Indonesia. Keindahan alam seperti danau Toba dan panorama alam lainnya juga sangat potensial untuk mendatangkan devisa lewat dunia pariwisata. Industri – industri besar berpotensi untuk tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan itu akan semakin pesat dengan diresmikannya Bandara internasional Kuala Namo di Deliserdang menggantikan Bandara Internasional Polonia Medan.
Potensi pedesaan juga bisa dikembangkan dengan ternak sapi. Sampai saat ini Sumut masih import daging sapi. Padahal Sumut punya ladang sawit seluas 1,8 juta hektar. Menurut penelitian, dengan mengonsumsi ampas sawit saja, 3 ekor sapi per hektar akan bertumbuh dengan baik. Sementara kotoran sapi sangat baik untuk pupuk sawit. Artinya, terjadi simbiosis mutualis. Bila 1,8 juta ha x 3 ekor, maka ada 5,4 juta ekor sapi per tahun yang bisa dihasilkan. Jumlah ini tidak hanya mencukupi kebutuhan lokal, tapi bisa dijual ke daerah lain.
Memang hasil tambang Sumut tidak sebesar Irian Jaya atau Riau. Tapi saya sangat yakin, bila potensi yang ada bisa dikelola dengan baik, pasti mampu mensejahterakan warganya.

Birokrasi berbelit-belit dan korupsi pejabat masih jadi momok. Tanggapan Anda?
Menurut saya ada 2 kata kunci untuk mensejahterakan rakyat, yakni menciptakan iklim kondusif dan membuat kepastian hukum. Yang pertama harus diciptakan adalah keadaan yang kondusif dalam artian seluasnya. Baik dari sisi keamanan dan juga kenyamanan berinvestasi. Karena sudah pasti, investasi yang masuk akan menggerakkan ekonomi.
Jika seorang pemimpin sadar bahwa investor akan menggerakkan ekonomi, dan pemimpin tersebut benar-benar ingin menyejahterakan rakyat, maka dia harus mengundang investor. Logikanya, kalau kita yang mengundang, kitalah yang memberi service atau fasilitas kemudahan.
Kita tiru cara sopir mopen (mobil penumpang) alias angkutan kota di Medan. Aturan umum yang berlaku di Mopen, penumpang naik dulu, bayar kemudian setelah sampai di tempat tujuan. Demikian juga untuk mengundang investor. Beri mereka kemudahan dengan memangkas birokrasi dan menghilangkan berbagai pungutan.
Sebab kalau investasi masuk, saat bangun pabrik saja ekonomi sudah menggeliat. Karena usaha panglong dapat untung, tangkahan batu dan tangkahan pasir bergairah. Masyarakat yang belum punya pekerjaan akhirnya bisa bekerja.
Bila nanti pabrik berproduksi, pasti membutuhkan tenaga kerja yang skill. Setelah produksinya makin besar, pasti membutuhkan tenaga kerja lebih banyak dan pasti membayar pajak lebih besar.
Itu sebabnya, syarat kedua adalah kepastian biaya dan waktu untuk mendapat sebuah ijin usaha. Sekarang memang sudah ada kantor pelayanan satu atap. Tapi menurut pengakuan teman pengusaha, atapnya saja yang satu. Meja yang harus dilalui masih tetap banyak. Setiap meja menguras energi dan dana.
Bila saya mendapat ridho Allah menjadi Gubernur Sumut, maka saya akan menetapkan besaran biaya perijinan dan berapa lama ijin keluar. Harus ada kepastian. Tentu syarat-syarat administratif dan tekhnis harus tetap ketat. Misalnya, harus taat pada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dengan perijinan yang mudah, kita justru punya wibawa menegakkan aturan. Istilahnya, murah tapi tidak boleh murahan.

Daerah lain pun sudah mendengungkan statement sama?
Semangat otonomi daerah adalah kompetisi. Setiap kepala daerah harus berlomba merlakukan terobosan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jadi sah-sah saja kalau pernyataan dan niatan yang sama muncul dari seorang pemimpin atau calon pemimpin di derah lain.

Serbuan barang import termasuk hasil pertanian makin gencar masuk pasar domestik. Apa langkah Anda melindungi produk lokal?
Seorang pemimpin organisasi apapun namanya, harus punya keberanian melakukan keberpihakan kepada anggota atau masyarakatnya. Proteksi adalah salah satu bentuk keberpihakan. Kita tahu, salah satu produk unggulan pertanian Sumut adalah jeruk dari Tanah Karo. Maka sudah sepatutnya dilakukan proteksi terhadap masuknya jeruk import. Tentu daya saing jeruk lokal juga harus terus ditingkatkan agar mampu menembus pasar domestik bahkan internasional. Jangan sampai produk lokal lebih mahal dibanding produk import.

Dulu Sumut dikenal sebagai lumbung beras nasional. Tapi sekarang menjadi penghasil kelapa sawit. Bagaimana langkah Anda mengembalikan status lumbung beras?
Saya akan mengutamakan apa yang menguntungkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Kalau memang lebih menguntungkan menanam sawit, karet atau palawija, tidak harus dipaksa-paksa menanam padi. Masyarakat juga sudah rasional. Mana mau disuruh tanam padi demi suksesnya swasembada beras sementara dia sudah tahu lebih menguntungkan menanam kopi?
Meski tidak terlalu intensif mengikuti, saya mendengar bahwa Indonesia menargetkan surplus beras 10 juta ton tahun 2014. Sebagai ekonom saya berpendapat, sebelum target angka dan target waktu dideklarasikan, harusnya sudah disusun program-program pencapaian secara detail. Begitu dideklarasikan, terhitung sejak detik itu juga program sudah harus dijalankan.
Menurut saya, minimal ada dua cara meningkatkan produksi padi. Pertama, menambah luasan areal sawah dan kedua meningkatkan produksi dari lahan yang sama dengan penggunaan bibit unggul dan pola tanam yang lebih baik. Tapi di Sumut, saya belum melihat program itu secara nyata.
Kita memang sering melihat paradoks antara pernyataan pejabat dan kenyataan. Pencanangan sering hanya sekedar lips service atau pemanis bibir. Contoh, tahun lalu, saya selaku Dirut Bank Sumut bersama seluruh Direktur Utama perbankan nasional di tanah air diundang ke Jakarta. Saat itu dicanangkanlah Hari Kewirausahaan Nasional. Tapi hingga jabatan saya sebagai Dirut Bank Sumut berakhir dua minggu lalu, belum jelas apa sebenarnya tindak lanjut dari pencanangan itu. Padahal pencanangan adalah awal sebuah program dilaksanakan.

Masyarakat Sumut dikenal kasar. Bagaimana memolesnya agar semakin akrab dengan masyarakat luar, terutama para wisatawan?
Saya kira semua daerah punya karakter sendiri. Memang nada suara masyarakat Sumatera Utara agak keras sehingga oleh masyarakat luar dianggap kasar. Tapi kepribadiannya sangat baik dan cekatan dalam melakukan tugas. Buktinya, ketika saya menjabat Dirut Bank Sumut, kami berhasil mendapat penghargaan pelayanan BPD terbaik se Indonesia. Karena penilaiannya tidak semata-mata kelembutan bertutur kata, tapi juga kecepatan memberikan layanan.
Dan kadang-kadang sikap kasar tak lepas dari sulitnya ekonomi. Sehingga kalau pembangunan desa berjalan baik, tingkat emosional masyarakat juga akan membaik. Premanisme akan turun.

Jika terpilih menjadi Gubsu, langkah apa yang akan Anda lakukan meningkatkan prestasi olahraga daerah ini?
Harus diakui, olahraga yang mengedepankan kerja keras dan sportivitas menjadi salah satu cara untuk mengharumkan nama bangsa di tingkat dunia. Itu sebabnya mental sportif harus digelorakan pada generasi muda sejak dini lewat berbagai cabang olahraga. Sehingga energi yang mereka miliki tersalurkan dengan baik. Tidak seperti sekarang, kita melihat banyak generasi muda dengan mudahnya melampiaskan emosi menjadi tawuran. Dimulai dari tawuran antar pelajar, tawuran antar kelompok hingga tawuran antar kampung.
Menurut saya, pemerintah pusat maupun daerah harus memberi perhatian lebih besar terhadap dunia olahraga diantaranya dengan memberi dana pembinaan. Memang uang bukan segala-galanya. Tapi harus diakui, uang sangat penting artinya dalam kehidupan. Seringkali atlit merasa tidak memiliki masa depan.Kita masih sering mendengar ada mantan atlit peraih medali emas tingkat internasional pada masa mudanya, tapi dimasa tua menjadi penarik becak dan tidak punya rumah tinggal. Ini kan sangat memprihatinkan.
Kemudian penyediaan sarana-prasarana. Selama ini pengeluaran membangun sarana dan prasana olahraga masih dianggap sebagai cost atau biaya. Katakanlah membangun Sport Centre yang menghabiskan anggaran ratusan miliar. Ada pejabat yang tercengang dan menganggap itu mubazir. Padahal sebagai praktisi ekonomi, menurut saya membangun sarana dan prasarana olahraga merupakan investasi.
Alasan pertama, akan menggairahkan dunia olahraga itu sendiri. Kedua dari sisi ekonomi. Dengan dibangunnya Sport Centre berstandar internasional akan mendatangkan devisa.
Contoh kasus, Ketua PB Wushu Indonesia adalah Bapak Supandi Kusuma, beliau orang Medan. Tahun 2009 lalu beliau menggelar event Wushu junior tingkat dunia. Saya minta agar event tersebut digelar di Medan. Sebenarnya beliau berkenan. Tapi karena sarananya tidak ada yang memadai, maka terpaksa digelar di Bali. Dari event itu saja sudah banyak kerugian. Karena atlit Wushu dan officialnya yang datang mewakili 80 negara mencapai ribuan orang. Bayangkan, berapa uang yang mereka belanjakan di Bali.
Mereka pasti menginap di hotel, sehingga hotel bergairah, mereka rental mobil sehingga usaha transportasi bergairah, tempat wisata bergairah, usaha kuliner serta usaha-usaha kreatif seperti souvenir juga bergairah.
Memang bagi orang yang tidak memiliki mindset ekonomi, terlalu abstrak melihat ada tidaknya kaitan pembangunan Sport Centre dengan penerimaan devisa. Tapi kita bisa lihat kebijakan Provinsi Sumatera Selatan yang membangun stadion Jakabaring Palembang. Padahal Jakabaring dulunya agak terpencil, jauh dari perkotaan sehingga istilah di Medan disebut tempat jin buang anak. Kemudian oleh Pemerintah Daerah disulap menjadi mesin pencetak uang. Karena Piala AFC digelar di Palembang dan SEA GAMES di gelar di Jakarta dan Pelembang. Begitu besarnya kemampuan stadion Jakabaring menyedot uang masuk ke Palembang.
Padahal Medan sering disebut-sebut sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia. Tapi tidak memiliki stadion bertaraf internasional. Menurutnya ini memilukan.
PON 2012 di Riau dan PON XIX tahun 2016 di Jawa Barat sudah diputuskan. Maka KONI Sumut berharap PON XX tahun 2020 bisa digelar di Medan. Moment ini akan mendorong eksekutif dan legislatif serius memikirkan pembangunan Sport Centre. Karena terbukti stadion Teladan Medan dibangun saat pelaksanaan PON ke 3 tahun 1953 di Sumut.

Banyak kepala daerah menjanjikan status PNS bagi peraih medali emas tingkat internasional. Menurut Anda apakah hal itu efektif meningkatkan prestasi atlit?
Kan sudah saya katakan, pemerintah harus memberi perhatian terhadap atlit. Perhatian itu bisa berbagai bentuk. Ada segi pendanaan dan segi kebijakan. Saya kira dari segi kebijakan inilah yang memungkinkan seorang atlit berprestasi diberi kemudahan untuk mengabdi kepada Negara sebagai PNS. Dengan demikian atlit menjadi fokus dan konsentrasi tanpa keragu-raguan. Bagi saya, tidak harus menunggu tingkat internasional. Peraih medali emas di tingkat PON layak menjadi PNS.

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: