Orang Indonesia jika bertemu dengan saudaranya, yang ditanya pasti “bagaimana kabarmu?”. Menanyakan kabar, adalah wujud perhatian. Ada kepedulian kepada yang ditanya. Pihak yang ditanya pun, meski sedang susah, akan tetap mengatakan, “baik”, “alhamdulillah” atau “sugeng”.
Biasanya, saat menanyakan tentang kabar saudaranya itu, didahului jabat tangan. Bahkan bersamaan dengan salaman, lisannya mengucap soal tersebut.
Menurut Wakil Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mustofa Bisri, bagi orang Jawa, sapaan sangatlah penting. Sebab orang Jawa itu sulit marah sekaligus sulit meminta maaf maupun memaafkan. Jika hati sudah terluka, sulit wawuhan.
“Orang Jawa itu sulit marah tetapi juga sulit memaafkan jika hatinya terluka. Beda dengan orang Arab yang mudah marah tetapi mudah banget saling memaafkan,” tutur Pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin Leteh Rembang ini dalam dalam halal bihalal keluarga besar Nahdlatul Ulama Semarang dan Jawa Tengah di Pondok Pesantren Shodiqiyyah Jl. Sawah Besar Semarang, Minggu (2/9) lalu.
Selama lebih dari 5 tahun kuliah di Mesir, mengalami 5 kali Idul Fitri dan menyambangi banyak negara Arab, kyai yang akrab disapa Gus Mus ini mengerti benar beda suasana batin masyarakat Arab dan Jawa.
Orang Arab, kata teman sekamar Gus Dur semasa kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir ini, mudah berkata keras jika tersinggung, tapi sangat mudah kembali rukun dan melupakan perselisihan yang barusan dialami.
Dikisahkan kyai yang senang bersyair ini, suatu ketika teman kuliahnya di Universitas Al-Azhar iseng-iseng menginjak kaki orang Arab saat naik bus kota. Si teman berpesan, jika dia dimarahi, Gus Mus harus segera membaca sholawat Nabi agar situasi reda. Harap tahu, jika mendengar bacaan sholawat, semarah apapun orang Arab akan langsung lerem ing penggalih. Redup dan longsor emosinya, seketika.
“Hei, kurang ajar kamu. Berani-beraninya injak kaki saya!” bentak si Arab kepada teman Gus Mus. Gus Mus hanya cekikikan saja. Sengaja mengerjai temannya dengan tidak segera melaksanakan amanatnya.
Rupanya temannya belum mahir berbahasa Arab, sehingga tak bisa meminta maaf atas tindakannya. Si Arab tentu tambah marah melihat penginjak kakinya plonga-plongo.
”Bahlul ente! Sudah menginjak malah pura-pura tidak tahu. Mau kupukul kamu, hah?!,” hardik si Arab sambil mencengkeram kerah baju si teman Gus Mus.
Wajah si teman langsung merah padam. Keringat bercucuran di pipinya. Kakinya terlihat gemetar. Seisi bus kota tegang melihatnya. Saat hampir saja tangan si Arab menempeleng, Gus Mus yang duduk di kursi belakang langsung berteriak: ”Shollu Alaa Muhammad!”.
Seketika itu pula, si Arab dan seisi bus kota menjawab spontan: ”Allahumma sholli alaih”. Yaitu kalimat yang harus diucapkan kala mendengar sholawat Nabi. Karena teman Gus Mus juga ikut menjawab sholawat dengan lantang, dia langsung dipeluk oleh si Arab yang sedetik lalu sudah hampir memukulnya. Bukan hanya dipeluk. Si teman Gus Mus itu malah dimintai maaf dan lalu ditawari minuman.
”Teman saya itu gantian yang memarahi saya saat sampai di pondokan. Karena telah saya kerjai. Hahaha,” kisah Gus Mus dalam banyak bukunya maupun saat pidato di berbagai kesempatan.
Demikianlah, menurut Kyai Mustofa Bisri, orang Arab ”tidak perlu” halal bi halal. Sebab setiap saat bisa bersalaman dan makan bareng meski telah bermusuhan. Bagi mereka, tak perlu forum dalam kemasan besar semacam halal bi halal seperti yang ada di Indonesia. Tak perlu menunggu Idul Fitri untuk saling memaafkan. Lha wong hanya mendengar sholawat Nabi, mereka bisa langsung berangkulan atau berpelukan. Baik dengan orang yang belum dikenal maupun yang barusan memantik emosinya.
”Orang Arab tidak punya tradisi lebaran. Hari raya yang besar justru Idul Adha, karena banyak daging untuk dimakan dalam pesta. Saat Idul Fitri sepi-sepi saja. Latar belakangnya ya budaya pergaulan yang cair itu tadi,” terangnya.
Khas Indonesia
Diterangkan KH Mustofa Bisri, di kamus Arab, tak ditemukan kata halal bihalal. Tapi justru ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Yaitu istilah untuk menyebut pertemuan saling memaafkan terkait hari raya Idul Fitri.
Dia jelaskan, para wali zaman dahulu tidak sembarangan berdakwah. Mereka riset mendalam sebelum terjun berjihad. Semua aspek budaya diteliti. Anthropologi dan sosiologi orang Jawa dipelajari. Para sunan itu tuntas menguasai seluruh langgam budaya Jawa. Gending, gamelan, wayang, dan semua khazanah kejawen dingelmoni secara mendalam.
Maka sangat wajar kalau dakwahnya sukses gemilang. Bukan hanya Jawa yang menjadi Islam. Melainkan ranah Nusantara. Sampai berhasil mendirikan kerajaan Islam dan membuat tradisi Jawa menjadi Islami hingga sekarang.
Sunan Ampel dan kawan-kawan mengerti betul orang Jawa tidak mudah marah. Perangainya cenderung sabar jika punya masalah. Bahkan terkesan suka mengalah. Namun jika merasa disakiti, hatinya akan terluka dan sulit memafkan. Angel wawuhan. Hukumannya dengan mendiamkan.
Padahal menurut Kanjeng Nabi, pintu surga tertutup bagi orang yang tidak mau berdamai dengan saudaranya. Ada sebuah hadis dari Abu Ayyub Al Anshari RA, Rasulullah bersabda: ”Tidak halal seorang muslim mendiamkan (tidak mau menyapa) saudaranya lebih dari tiga malam di mana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling. Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam”. (HR Bukhari dan Muslim).
Harus diakui, banyak orang Jawa yang awet saling mendiamkan. Sampai ada unen-unen ”Aku ra bakal wawuhan karo dewekne nganti tumekani pati”. Nah, ini tentu berbahaya jika dibiarkan. Karena itulah diambilkan moment terbaik menjalin perdamaian dan mempererat kerukunan lewat Idul Fitri.
Tanggal 1 Syawal ini oleh para wali disebut Hari Raya Lebaran. Diajarkan setiap orang saling bersalaman, memohon maaf lahir dan batin. Lalu ditambahi istilah Arab halal bi halal, agar orang Islam lebih semangat. Karena saat itu semua kesalahan minta dihalalkan. Yang pernah menyinggung perasaan, berkata tidak sopan, membohongi, memukul atau mendiamkan, disebut dengan ikhlas lewat moment ini.
Dasarnya tentu dari Al-Qur’an dan hadis. Diantaranya ”ayat puasa” Surat Al-Baqarah 183 yang dipadukan dengan ”ayat lebaran” Surat Ali Imran 133-135.
Yaitu: ”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS Ali Imran 133-135)
Ayat yang sangat terkenal ini pasti dibaca dalam forum halal bihalal ataupun reuni sekolahan. Pesannya memang pas. Jelas dan tegas. Jika orang telah berpuasa dan layak mendapat derajat taqwa, dia harus menafkahkan (atau menginfaqkan) sebagian hartanya. Di saat lapang maupun sempit sejeki.
Syarat kedua, bisa menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Lalu, berbuat ihsan (kebaikan paripurna). Jika terjerumus dosa, ia mengingat Allah dan meminta ampun serta tidak mengulanginya lagi.
Kembali Fitri
Dari Al-Qur’an maupun hadis, para wali mengajarkan, Idul Fitri bermakna kembalinya manusia kepada fitrahnya. Sangkan paraning dumadi. Yang suci dan beriman kepada Tuhan. Jika orang mau berpuasa sepenuh iman, lalu berzakat untuk menyucikan jiwa dan harta, ditutup dengan saling memaafkan, maka surga adalah balasannya. Ia adalah orang yang bertakwa. Ibaratnya ia seperti bayi yang baru dilahirkan. Putih bersih tanpa noda dan cela.
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo H Anasom menjelaskan hal itu dalam sambutannya. Menurut Anasom yang juga ketua Tanfidziyah PCNU Kota Semarang, karena semangatnya orang Islam di Jawa menjalankan ajaran agamanya, maka puasa Ramadhan disambut sangat meriah. Gegap gempita hingga purna.
Saat Idul Fitri tiba, semua orang menyambutnya dengan suka cita. Ibu-ibu menyembelih ayam untuk memberi hadiah atas kemenangan seisi rumah nafsu selama puasa. Anak-anak menyulut mercon dan bersorak sorai sejak malam takbiran. Anak-anak muda saling mengirim makanan kepada kerabatnya. Bapak-bapak membelikan baju baru dan membagikan uang kepada anak-anak, dan seterusnya.
Berikutnya, bersalam-salaman di masjid maupun di jalan. Saling mengunjungi dan bersilaturahim. Sungkem kepada bapak ibu dan handai taulan. Serba damai dan riang.
”Karena kesempatan itu begitu luar biasa, bahkan jadi langka bagi anggota keluarga yang tinggal jauh di kota, maka muncullah fenomena mudik. Halal bi halal menjadi muara dari semua ritus itu,” terangnya.
Sungkeman dan Berbagi Kegembiraan
Kepada siapa harus meminta maaf pertama? Tentu kepada orang terdekat yang setiap hari berinteraksi. Karena potensi kesalahan terbesar terjadi di sini. Utamanya anak kepada orang tua, kakak dan adik, suami dan istri, dulur serumah, murid dan guru, para tetangg, rekan kerja, teman sekolah/kuliah, dan seterusnya.
Jangan lupa, kegembiraan itu ada sebab para leluhur. Bapa biyung yang dulu menurunkan dan mengajarkan berbagai hal tentang agama. Maka setelah bertemu orang-orang terdekat, kaum muslimin mengunjungi makam leluhurnya. Ziarah ke kuburan untuk memanjatkan doa. Berkirim Fatihah untuk kegembiraan para pendahulu yang telah sumare di alam baka.
Terlebih bagi anak yang orang tuanya telah tiada. Tak ada kesempatan meminta maaf dan membalas kebaikan ayah bunda kecuali dengan menjadi anak soleh. Agar pahalanya mengalir sebagai amal jariyah hingga yaumil qiyamah.
Ketua Panitia KH Ahmad Darodji, ketua PWNU Jateng H Muhammad Adnan, serta sohibul bait KH Shodiq Hamzah yang juga Rais Syuriyah PCNU Kota Semarang, juga menyampaikan sambutan berisi uraian makna tradisi halal bihalal. Acara dihadiri para tokoh NU dari pelbagai profesi dan daerah. Serta seribu lebih warga NU Kota Semarang. Ichwan
Recent Comments