Bagi para pengguna jasa klinik kecantikan, timbul dan menjamurnya kinik kecantikan tentunya akan disambut baik karena berarti tersedianya pemberi jasa yang siap mengakomodir kebutuhan mereka untuk mempercantik diri.
Bukankah sudah ada salon kecantikan? Memang untuk masalah-masalah yang sifatnya di “permukaan tubuh”, salon kecantikan adalah jawabannya. Misalnya ingin make up yang lebih bagus dan lebih bermutu, atau ingin dandanan rambut yang tertata baik, maka tidak salah kalau mereka mencari salon langganannya. Tetapi kalau permasalahannya lebih ke dalam, misalnya wajah berjerawat yang kronis dan tak kunjung sembuh, atau vlek-vlek hitam, rambut mulai menipis, tubuh mulai berlepotan lemak disana-sini, berat badan naik dengan drastis, maka mereka harus mencari dokter yang bisa menolongnya, memberi resep obat atau menyuntik, dan melakukan tindakan lain yang diperlukan, karena mungkin dengan jamu dan pengobatan tradisionil (batra) lainnya masih belum tuntas.
Memang klien kecantikan ini tidak salah bila datang ke dokter spesialis kulit & kelamin (SpKK) guna memperbaiki kulitnya, atau mencari dokter ahli gizi untuk menurunkan berat badannya. Malah yang ingin awet muda, kalau mereka tahu, akan datang kepada dokter ahli hormon atau ahli andrologi untuk minta suntikan hormon, atau ahli kebidanan (Obstetri & Gynekologi) untuk terapi sulih hormon bagi ibu wanita yang merasa sudah menua. Namun untuk problem problem umum kecantikan, para pengguna jasa ini tidak salah bila mendatangi dokter umum yang sudah mempelajari dan mempraktekkan ilmu aesthetica ini untuk menolongnya.
Dengan demikian maka didalam masyarakat akan sudah terfragmetasi kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan ini. Bagi pengguna jasa yang problem kulitnya cukup berat, mereka bisa menemui dokter Spesialis Kulit. Buat mereka yang berjerawat, vlek, kegemukan dan semacamnya yang notabene bukan penyakit, datang ke dokter umum yang bergerak dibidang jasa aesthetic atau kecantikan. Sedangkan buat pengguna jasa yang hanya ingin lebih cantik karena tidak ada masalah di kulitnya, maka mereka bisa lari ke salon – salon kecantikan atau toko kosmetik. Maka tidak perlu ada friksi atau pertentangan diantara para pelaku dunia kecantikan ini, baik Spesialis Kulit, dokter estetik, maupun salon / toko kosmetik.
Dari sisi dokter pelakunya, maka sudah jelas bahwa sampai saat ini belum ada predikat “Dokter Ahli Kecantikan” karena memang di Indonesia belum ada spesialisasi Aesthetic (kecantikan) di seluruh Fakultas Kedokteran di Indonesia, sehingga belum ada kolegiumnya. Beberapa ahli Dermatologi atau Ahli Bedah Plastik di luar negeri juga berpredikat ahli kecantikan, tetapi penamaan itupun kemungkinan diberikan oleh pabrik Farmasi atau alat kesehatan yang menyuplai kebutuhan kecantikan, bukan oleh dunia medis.
Jadi sebetulnya kalau mereka di Indonesia berhimpun menjadi anggota Perhimpunan Dokter Aesthetic Indonesia, maka hal itu ada benarnya karena mereka adalah dokter yang mempunyai “minat” sama di bidang aesthetica. Seharusnya di dalam perhimpunan itu mereka dibina, ditatar, dilatih, sehingga mempunyai keilmuan yang berstandart sama untuk berpraktek di bidang aesthetic, sehingga betul-betul bisa menolong masyarakat pengguna jasanya.
Hanya saja, meski bergerak dalam bidang bisnis namun seharusnya bisnis yang ber-etika. Maksudnya sebagai dokter juga harus mengenal dan mempraktekkan belas kasihan, tidak semata-mata pasang tarif, tetapi bisa negosiasi, sehingga pengguna jasa bisa bisa memperoleh manfaatnya tanpa kendala keterbatasan uang.
Dari sisi pengusaha dan regulator
Pengusaha / investor yang mendirikan klinik kecantikan itu tidak salah bila melihat peluang ini untuk dijadikan profit, seperti kata Hermawan Kartajaya. Mereka membangun klinik yang ‘wah’, menarik, modern, wangi dan menyenangkan (cozy). Umumnya, mereka juga mempekerjakan dokter, entah dokter umum yang terlatih, atau dokter spesialis kulit. Hanya saja, seringkali klinik kecantikan ini tidak memajang nama dokter yang berpraktek disitu itu. Bisa jadi ini ‘kebijakan’ owner klinik kecantikan itu sendiri untuk ‘tidak menjual’ nama dokternya, tapi hanya pelayanan kecantikannya saja.
Sayangnya, penegakan aturan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang RI No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran ini belum maksimal, terutama oleh regulator.
Sebab, jelas termuat dalam BAB VII tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran pada Bagian Kedua Tentang Pelaksanaan Praktik, pada Pasal 41 Ayat (1):
“Dokter atau dokter gigi yng telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.”
Dan bunyi ayat (2):
“Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.”
Pasal 42:
“Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut.”
Nah, bagi Anda pengguna jasa klinik kecantikan, atau para calon klien, sebenarnya regulasi itu dibuat untuk melindungi kepentingan konsumen. Jadi selektiflah, agar Anda bisa datang dengan tenang, karena berada di tangan dokter yang tepat. Keberdaan mereka bukan hanya untuk mempromosikan klinik dan obat-obatan yang dijual di klinik tersebut, tapi juga bisa memberikan uraian dan jawaban yang menunjukkan kompetensi dokter estetik. *** (ths)
Recent Comments