Ketergantungan Obat Juga Penyakit

Maraknya peredaran narkoba illegal tentu tak lepas dari gelimang uang. Tengok saja perkiraan transaksi barang haram itu di Indonesia tahun 2011 mencapai Rp 48 – 50 triliun. Mengacu pada temuan Badan Narkotika Nasional (BNN) sepanjang 2011, ada 49,5 ton sabu, 147 juta ekstasi, 242 ton ganja, dan hampir 2 ton heroin yang lepas dari jerat petugas.
Pertanyaannya adalah; apakah ketergantungan obat masuk kategori penyakit? Bila ya, dan penyakit itu harus diobati, siapa yang menanggung biayanya?
Direktur Utama Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, Dr. Laurentius Panggabean, SpKJ, MS, tidak membantah, bahwa masih banyak orang beranggapan ketergantungan obat bukan penyakit. Karena tidak mungkin seisi rumah heboh hanya gara-gara salah satu anggota keluarga ingin memakai atau makan sesuatu. Beda kalau demam tinggi, maka akan segera dibawa berobat ke dokter atau rumah sakit.
Ada pula yang mengakui ketergantungan obat memang penyakit tapi tidak perlu diurusi karena dia merusak dirinya sendiri. Bahkan pemahaman demikian juga terjadi di kalangan medis atau kesehatan. Itu sebabnya sampai sekarang baru 181 klinik layanan pengobatan narkoba seIndonesia.
Penolakan paling nyata datang dari perusahaan asuransi. Hampir semua asuransi kesehatan tidak mau mencairkan claim pengobatan terkait  narkoba.
Mindset seperti itu perlu dirubah. Yang jelas ketergantungan obat juga penyakit. Itu sebabnya kita perlu menunjukkan empati kepada para penderitanya. Dengan kepedulian terhadap mereka, sekurang-kurangnya kita telah mencegah penularan HIV/AIDS (human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome) yang bahayanya luar biasa mengerikan, penyakit infeksi hati seperti hepatitis dan berbagai penyakit menular lainnya.
Ditanya kalangan mana yang paling rentan menjadi pengguna narkoba, suami dari Drg. Lusia Iriani Purba ini mengatakan, hampir semua kalangan. Memang paling rentan pada usia remaja. Karena secara umum kejiwaan remaja masih labil, selalu ingin mencoba. Termasuk mencoba sesuatu yang dilarang.
Diingatkan, pengaruh lingku-ngan sangat menentukan. Dimulai dari lingkungan paling kecil, yakni rumah tangga. Ayah dan ibu harus bisa menjadi sosok teladan. Orang tua jangan hanya menakut-nakuti. Misalnya melarang anak memanjat pohon, dengan alasan takut jatuh. Harusnya saat anak minta manjat pohon, dipersilahkan saja tapi didampingi. Saat si anak memanjat dan orang tua melihat keadaan membahayakan, coba diingatkan. Kalau si anak tetap penasaran dan memanjat lebih tinggi, biarkan saja. Kalau dia jatuh dan keseleo dibawa berobat. Kelihatannya seperti orang tua ceroboh. Tapi sebenarnya begitulah mendidik anak. Lewat pendampingan. Sebab pengalaman jatuh dari pohon akan memberi pelajaran berharga bagi si anak. Ke depan dia akan memanjat lebih hati-hati dan nasihat ayahnya, termasuk untuk hal lain akan lebih mudah diindahkan.
Menanggapi adanya oknum profesional juga terlibat narkoba, alumni FK USU Medan ini mengatakan, karena tekanan kerja para profesional demikian berat. Kadang mereka tidak punya waktu untuk menikmati kesenangan, misalnya bersantai bersama keluarga. Bahkan ada yang jauh dari anak dan isteri. Tekanan seperti ini membuat mereka ingin melupakan semua beban dengan mencari kesenangan instan hanya dalam hitungan belasan menit. Sayangnya itu kesenangan yang tidak orisinal.

LAYANAN PALING LENGKAP
Secara umum ada 4 pilar layanan sebuah rumah sakit. Yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pada umumnya rumah sakit hanya melaksanakan kuratif, yakni melakukan pengobatan. Prefentif dan promotif dilakukan Kementerian Kesehatan lewat Puskesmas untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati. Layanan rehabilitatif hanya dilakukan rumah sakit tertentu. Jumlah rehabilitasi yang dikelola lembaga swadaya masyarakat (LSM) jauh lebih banyak.
Layanan RSKO sangat komplit. Promotif dan prefentif dilakukan lewat beberapa sekolah, mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan kelompok masyarakat. Juga melakukan test urine terhadap pegawai instansi atau karyawan perusahaan swasta/BUMN. Dengan melakukan test urine secara rutin, nama instansi itu juga menjadi baik dimata publik. Karena ada jaminan pegawainya bebas dari narkoba.
RSKO juga melakukan pengobatan terutama mengeluar-kan zat beracun dalam tubuh pasien atau istilahnya detoksifikasi. Kalau ada yang over dosis dalam pemakaian, diberi pertolongan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). “Kami berusaha selalu yang terdepan, menjadi pusat rujukan bagi RS lain.  RSKO dapat benar-benar yang terbaik sehingga layak menjadi tempat belajar. RSKO membina jejaring dengan RS lainnya,” kata dokter spesialis kedokteran jiwa dari  Universitas Indonesia Jakarta ini,
Sebanyak 70 tempat tidur di RSKO diperuntukkan bagi upaya rehabilitatif. Ada juga layanan. Artinya, pasien sebenarnya sudah diijinkan bersosialisasi tetapi belum percaya diri (PD) untuk kembali ke habit-nya yang lama. Sehingga dia memilih berangkat kerja dari RSKO dan pulang ke RSKO. Seperti rumah kos.
“Mereka bisa sampai 1 tahun disini. Karena program rehabilitasi saja secara umum butuh waktu 3 bulan – 6 bulan. Dengan program after care mereka bisa tinggal 6 bulan setelah dinyatakan siap bersosialisasi.
Rehabilitasi mental memang memerlukan waktu cukup lama. Karena mereka seperti belajar hidup kembali. Sebagaimana kita tahu, peran rehabilitasi tidak hanya sekedar memulihkan kesehatan fisik, tetapi terutama psikologisnya. Misalnya, seorang korban kecelakaan lalu lintas yang terpaksa salah satu kakinya diamputasi. Tidak cukup sekedar diberi alat bantu tongkat atau kaki palsu. Tapi mentalnya pun harus disiapkan agar bisa tegar menapaki hari-hari hidupnya ke depan meski kakinya tinggal satu.
Sama halnya dengan korban narkoba yang sudah lama menikmati ‘kesenangannya’. Tiba-tiba ‘kesenangannya’ itu diputus. Banyak yang tidak siap. Makanya dia harus diajari bagaimana menjalani hidup baru tanpa narkoba,” terangnya.
Meski demikian, layanan after care tidak sampai mengganggu masuknya pasien baru. Karena walau jumlah korban narkoba di tengah masyarakat sangat banyak, tapi keinginan mereka berobat terhalang oleh rasa takut. Takut ketahuan tetangga karena diangap aib yang memalukan. Takut ketahuan aparat karena bisa menjadi target penangkapan pihak yang berwajib. Makanya untuk sementara jumlah pasien yang dirawat baru sekitar 60% dari kapasitas tempat tidur.
Menjawab pertanyaan Seberapa besar kemungkinan para mantan pecandu narkoba bisa pulih kembali? Dr. Panggabean  mengutip pernyataan pakar kedokteran jiwa almarhum Prof. DR. Kusumanto mengatakan, berhentinya seorang pecandu narkoba hanya setelah ajal menjemput. Demikian hebatnya pengaruh narkoba terhadap kejiwaan. Seseorang yang sudah berhenti 3-4 tahun bahkan 10 tahun pun tidak ada jaminan tidak akan memakai lagi. Karena memori masa lalu mereka atas rasa nikmat tersebut dapat “membujukknya” untuk kembali menggunakan. Tidak perlu jauh-jauh. Hanya mendengar suara gemericik air di rumahnya, dia bisa langsung mengenang masa lalu ketika masih jadi pemakai.

DITANGGUNG OLEH NEGARA
Karena orang yang ketergantungan narkoba juga penyakit maka pasien ini juga mendapat perlakuan yang sama dengan penderita penyakit lain.
“Memang banyak yang bertanya, mengapa mereka mendapat perlakukan sedemikian rupa padahal itu kan akibat ulah mereka sendiri? Kalau berani berbuat harus berani menanggung risiko. Lalu saya jelaskan dengan perbandingan. Salah satu penyebab penyakit jantung adalah kolestrol yang banyak mengkonsumsi makanan berlemak, kadar garam yang tinggi, serta kurang berolah raga. Meminum minuman beralkohol, serta merokok. Informasi tentang itu sudah disebarluaskan dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Tetapi kan tetap dilanggar sehingga berbagai penyakit tadi diderita oleh seseorang. Ini berarti kesalahan sendiri, dong!? Tidak perlu diurusi juga lah. Tapi nyatanya kan tidak begitu. Namanya orang sakit, ya sedapatnya ditolong untuk disembuhkan. Atau paling tidak diusahakan penyakit itu tidak menular kepada orang lain,” terang ayah dari 4 anak ini.
Sekedar untuk diketahui, narkoba banyak jenisnya. Opiat misalnya digunakan dengan cara menghirup. Dosis semakin lama semakin tinggi. Itu berarti bertambah pengeluaran. Akhirnya pecandu berkenalan dengan jarum suntik. Bagi mereka, penggunaan jarum suntik menghemat pengeluaran dan dapat mencapai puncak ‘kenikmatan’. Karena seluruh zat masuk ke dalam tubuh 100%. Beda kalau mengisap, akan ada bagian yang terbuang.  Nah, saat nyuntik ini, mereka sering menggunakan jarum suntik bersama-sama dengan alasan murah. Katakan harga satu paket zat tersebut Rp 100 ribu. Kalau mereka pakai rame-rame untuk 5 orang sehingga masing-masing hanya membayar Rp 20 ribu. Padahal karena tidak steril, jarum tersebut menjadi media untuk penularan kuman. Akibatnya, tertular HIV/AIDS dan hepatitis.
Penyebaran HIV/AIDS ini sangat mengerikan. Bayangkan, seorang laki-laki pengguna narkoba jarum suntik yang tertular HIV/AIDS kemudian menikah dengan seorang gadis. Wanita yang dinikahinya belum tentu tahu latar belakang sang suami. Lalu mereka melakukan hubungan badan sehingga isterinya ketularan juga. Saat isterinya melahirkan anak, terjadilah luka pada jalan keluar sang bayi. Saat darah si ibu mengenai tubuh sang bayi, maka bayinya pun ketularan. Kalau anaknya 2 orang, berarti laki-laki itu telah menularkan penyakit kepada 3 orang.
Beberapa tahun kemudian, si suami meninggal. Isterinya menjanda. Karena masih muda, isterinya menikah lagi. Suaminya yang baru pun akan ketularan. Kalau dari pernikahan kedua ini lahir 2 anak, maka kedua anak itupun akan ketularan. Penularan juga terjadi dengan kontak bagian tubuh yang luka, yang mengeluarkan cairan tubuh seperti darah, ke orang lain yang kulitnya juga terluka. Dari pisau cukur yang dipakai bersama, dan lain-lainnya.
Kalau laki-laki tadi juga sering mampir ke kompleks pekerja seks komersial (PSK) dan berhubungan intim tanpa kondom disana, tentu penyebaran HIV/AIDS akan jauh lebih besar. Karena PSK punya banyak pelanggan. Maka setiap laki-laki yang berhubungan seks dengan PSK tersebut berpotensi ketularan HIV/AIDS. Laki-laki pengguna PSK akan menularkan penyakit kepada isterinya di rumah. Penyakit mematikan itu menular pula pada anak mereka yang lahir kemudian. Mengerikan, bukan?
Sudah terbukti di sebuah negara ASEAN yang tidak ia  sebut nama negaranya, pernah terjadi penduduk satu wilayah punah karena terjangkit HIV/AIDS akibat kemunafikan atau ketidakpedulian masyarakat dan pemuka setempat. Mereka beranggapan, itu penyakit yang dibuat sendiri. Tidak perlu diurusi. Tapi setelah malapetaka tersebut, barulah timbul penyesalan luar biasa.
Jadi mengapa pemerintah harus memberi perhatian khusus dan biaya besar kepada pecandu narkoba? Karena akibatnya bisa mendatangkan malapetaka buat kehidupan manusia.
“Maka sebelum malapetaka itu datang kita harus menghadangnya. Dimulai dengan mencegah penularan. Kita berusaha merubah perilaku mereka. Yang selama ini menggunakan jarum suntik, syukur bisa berhenti. Itu harapan ideal. Tapi kalau belum bisa berhenti, kita anjurkan beralih ke zat pengganti yang bisa memberi rasa tidak sakit atau sakaw. Kalau toh masih mau menggunakan jarum suntik, gunakanlah jarum suntik hanya untuk sekali pakai dan terjamin sterilitasnya.”

WASPADA KECANDUAN CYBER
Ketika ditanya adakah pasien lain misalnya ketergantungan rokok, minuman beralkohol yang dirawat di RSKO? Ia mengatakan, akibat merokok bisa menimbulkan penyakit paru-paru dan jantung. Tapi hampir semua rumah sakit bisa menangani. Orang yang mabuk alkohol biasanya sakit tapi tidak terlalu lama. Setelah beberapa waktu, dia akan pulih kembali termasuk tanpa pengobatan sekalipun. Memang alkohol dapat menimbulkan kecanduaan, tetapi masih sangat jarang yang mencari pengobatan.
Sekarang yang sedang menjadi pemikiran medis adalah ketergantungan cyber. Ini juga sudah mulai diresahkan masyarakat. Karena pada dimensi tertentu, seseorang yang kecanduan cyber bisa merusak otak. Hanya saja RSKO belum pada tahap merawat pasien ketergantungan cyber secara spesifik.                  Robinson Simarmata

www.simplesharebuttons.comBerbagi dengan teman ...Facebook0Google+0Twitter0tumblrPinterest0LinkedIn0

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

CAPTCHA Image
Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: