KUALITAS DEMOKRASI MASIH BURUK

Ada banyak nama kepala daerah yang terjerat korupsi, dan terlalu panjang untuk disebutkan satu persatu. Banyaknya jumlah kepala daerah yang tertangkap korupsi, bisa saja dianggap sebagai kabar baik. Sebab, menunjukkan keseriusan aparat hukum dalam menindak korupsi. Tetapi di sisi lain, hal itu menunjukkan bopengnya wibawa penyelenggara negara dan masifnya korupsi di negeri ini.
Anggota badan pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai maraknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi menunjukkan kualitas demokrasi Indonesia yang buruk dan belum tuntasnya pendidikan politik di masyarakat.
“Masyarakat butuhnya uang, bukan selebaran, flyer, sehingga serangan fajar itu bisa membalikkan proses pemilihan di suatu wilayah,” kata Emerson baru-baru ini. dalam jumpa pers di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA, Jakarta.
Menurut dia ada beberapa solusi untuk memberantas korupsi di tingkat daerah. Di antaranya, penegakan hukum harus dilakukan tanpa tebang pilih, harus ada penguatan pengawasan internal dan eksternal.
Dikatakannya, pemerintah harus merevisi Undang-undang No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah untuk memperketat syarat sebagai calon kepala daerah. Hal itu untuk menghindarkan calon kepala daerah yang tersangkut kasus hukum serta mengharuskan calon yang masih menjabat di daerah lain agar mengundurkan diri dari jabatan sebelumnya.
Dari data KPK tercatat sebanyak 175 kepala daerah yakni 158 bupati dan 17 gubernur terseret korupsi. Kerugian negara mencapai Rp1,9 triliun.
Dia mengatakan ada beberapa dorongan kepala daerah melakukan korupsi. Diantaranya kepentingan ongkos politik Pilkada selama kampanye.
Politik balas budi terjadi antara kepala daerah dengan tim sukses yang merupakan pemilik perusahaan-perusahaan besar. “Kalau calonnya menang, ada konsesi antara pemilik perusahaan dengan kepala daerah,” ujar pria kelahiran 1 Juni 1977 itu.
Terbukanya peluang korupsi semakin besar karena lemahnya regulasi di daerah. Menurut dia, penegak hukum di tingkat daerah sulit menangani kepala daerah yang bermasalah sehingga penanganannya harus dilimpahkan ke pusat.
Petaka Pilihan Langsung
Ada yang menilai tren peningkatan korupsi kepala daerah karena UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam UU tersebut disyaratkan tentang pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung dan demokratis. Pemilukada langsung dianggap sebagai petaka dan pemicu maraknya korupsi di daerah. Akibat Pemilukada langsung itu, biaya politik tinggi, calon harus membeli suara, membayar perahu politik, dan membiayai kampanye.
Secara sepintas, anggapan itu tampak masuk akal. Atas dasar itu, Kemendagri pun sedang menyiapkan RUU untuk merombak Pemilukada langsung dan mengembalikan pemilihan ke DPRD. Mungkin saja upaya ini adalah langkah positif dari Kemendagri untuk mencegah perilaku korupsi di daerah. Akan tetapi, terlalu cepat pula bila hanya menyalahkan Pemilukada langsung sebagai satu-satunya variabel yang mendongkrak tingginya korupsi kepala daerah.
Menurut Ketua Umum DPW PAN Jateng, Wahyu Kristianto, pemilukada langsung                                                                   yang diterapkan beberapa tahun terakhir ini adalah kemajuan peradaban politik kita. Tidak banyak negara yang berani menyelenggarakan pemilukada langsung, Indonesia di tengah keterbatasan berani melakukan itu. Sehingga, tidaklah tepat mengembalikan pemilukada ke tangan DPRD, sebab malah memperlihatkan kemandekan peradaban atau malah kemunduran peradaban politik kita. Di samping itu, tidak semua daerah bermasalah dengan Pemilukada langsung-nya.
Ada daerah yang Pemilukada berjalan dengan baik, dana yang dikeluarkan calon tidak banyak, dan pemimpinnya tidak tersandung korupsi, sebut saja seperti Solo. Ada daerah yang sistem Pemilukada berjalan dengan dana yang besar, dan kepala daerahnya diduga kuat melakukan korupsi, tetapi kasusnya tidak terangkat.
Maka, di daerah tersebut barangkali aparat penegak hukumnya yang tidak bekerja maksimal dan perlu diperbaiki.
Senada juga dikatakan Wandi Prawisnu Simanullang, pengamat politik dari UPN Yogya, setiap daerah memiliki kompleksitas dan permasalahan yang berbeda-beda, sehingga tidak bisa disamaratakan bahwa korupsi kepala daerah sebagai akibat dari Pemilukada langsung. Solusi ideal yang dapat dipilih adalah membatasi dana kampanye Pemilukada.
Apabila memang berniat membuat UU baru yang mengatur Pemilukada, sebaiknya pembatasan dana kampanye dijadikan poin utama, bukan meniadakan Pemilukada langsung. Pembatasan dana kampanye dapat dilakukan dalam dua hal.
Pertama, membatasi sumbangan dari simpatisan. Pembatasan ini berkaitan dengan jumlah nominal.
Tetapi, perlu juga disusun mekanisme yang dapat mengontrol penyumbang dana, jangan sampai seorang penyumbang dapat memberi lebih dari sewajarnya atau berulang kali, menggunakan nama fiktif atau menggunakan jasa pihak lain, dan menyumbang dengan cara “mencicil”, sebab sumbangan yang berlebihan dapat menyandera calon. Apabila sumbangan dapat dibatasi, maka dana yang akan digunakan dalam kampanye tidak akan berlebihan.
Kedua, pembatasan penggunaan dana kampanye. Sekiranya Panwaslu perlu diberikan kuasa untuk membatasi penggunaan dana kampanye.
Dana kampanye yang perlu dibatasi penggunaannya sangat banyak, terutama yang secara kasat mata nilainya tinggi. Sebut saja seperti dana survey, dana untuk tim sukses dan tim pencitraan, pembuatan baliho dan spanduk, serta acara-acara hiburan yang minim nilai-nilai edukasi pada masyarakat.
Partai Bukan Segalanya
Partai bukanlah segalanya, artinya kedaulatan tetap berada di tangan rakyat. Seperti yang banyak terjadi di beberapa daerah, koalisi rakyat mementahkan arogansi partai. Seperti juga yang terjadi di Pemilukada DKI Jakarta. Jokowi-Ahok mampu membalikkan bahwa rakyatlah yang bertahta.
“Partai hanyalah sekoci pengantar namun yang paling konkret adalah dukungan riil di akar rumput. Lihatlah Alex Noerdin yang disokong Golkar hancur lebur, PKS yang mencalonkan Hidayat Nurwahid juga jeblok dan Foke yang di back up Demokrat juga kalah dengan sosok sederhana Jokowi,” ungkap Ari Junaedi, yang merupakan doktor komunikasi politik dari Unpad.
Pada akhirnya, korupsi yang kini banyak melilit kepala daerah bukan masalah Kemendagri semata. Tetapi ini adalah masalah seluruh elemen bangsa, mulai dari parpol, pemerintah pusat dan daerah, aparat penegak hukum, dan tentunya seluruh rakyat Indonesia. Marilah kita selalu menegakkan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi atau golongan. Sudah saatnya masyarakat diberi keteduhan, keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan.    Wan

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: