SECUIL CATATAN DUNIA EDUKASI

Bicara tentang pendidikan tinggi, persoalan dan tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia tak beranjak dari masa lalu. Kalau dilihat realitasnya, pendidikan memang masih rendah ketimbang negara-negara Asia lainnya. Apalagi bila disandingkan di level dunia, Indonesia hanya berada di urutan paling buncit. Jadi pendidikan di Indonesia belum banyak kemajuan. Apa penyebabnya? Pertama, jelas ada lingkaran  setan ekonomi. Sebab tingkat kemakmuran masyarakat Indonesia tak beranjak lebih cepat dari negara lain. Misalnya di  era  50-an.  Kala itu negara-negara dunia ketiga baru mulai menyatakan kemerdekaannya. Negara-negara tersebut mulai menjalankan model-model pembangunan yang semuanya diarahkan  pada peningkatan kemakmuran.

“Kita merdekanya lebih awal, mestinya lebih baik dari pada negara yang baru merdeka,” kata Dr. Mame Sutoko, DEA. Rektor Universitas Widyatama ini mencontohkan, pada   tahun  1962 Indonesia sudah mampu menyelenggarakan Asian Games, sementara Korea masih dilanda perang saudara. Namun kenyataan berbalik  180  derajat 60 tahun kemudian. Justru kita ketinggalan jauh dari mereka. Korea telah menjelma menjadi negara maju. Mereka telah sanggup memproduksi barang-barang berteknologi tinggi. Jangankan  dengan Korea, kita saja masih ketinggalan dibanding Malaysia. Padahal negeri jiran ini adalah  murid  kita  pada  medio 70-an. Dilihat dari tingkat kemakmuran, pendapatan per kapita Malaysia sudah mencapai 8 ribu dollar. Sedangkan Indonesia hanya 3 ribu dolar.

Pendidikan memang berkorelasi dengan faktor ekonomi. Sebab pendidikan bukanlah barang murah.  Artinya  pendidikan bukan sekedar dedikasi atau loyalitas semata seperti ajaran Ki Hajar Dewantoro. Dedikasi dan loyalitas ada batasnya. Tanpa kemampuan ekonomi berat rasanya bila membicarakan pendidikan berkualitas.  Baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi.

Khusus pendidikan tinggi, perkembangannya masih relatif rendah ketimbang negara-negara tetangga. Bahkan lebih memprihatinkan dibanding masa lalu. Hal ini terlihat dari berbagai pemeringkatan lembaga survey independen. Seperti Time Higher Education Survey (THES), Shanghai Zia Dong, Quacquarelli Symonds, Webometric dan 4 ICU. Secara umum dapat dikatakan bahwa  tingkat  pendidikan  tinggi di Indonesia berada pada urutan bawah bersama Filipina, Vietnam dan Kamboja.

KURANG KOMITMEN

Ketertinggalan ini, menurut alumnus  ITB  ini,  terjadi  lantaran ada inkonsistensi kebijakan publik. Pada awal kemerdekaan diwarnai dengan kepemimpinan liberal yang melalui Dekrit Presiden berubah sedikit demi sedikit ke arah perencanaan sentral. Kepemimpinan militer orde lama cenderung mengarah kepada ekonomi pasar yang didominasi gaya authoritarian dan kolaborasi birokrat-pengusaha  pada lingkaran penguasa tertinggi. Era reformasi tetap mencerminkan ekonomi pasar dengan tuntutan demokrasi yang kurang difahami dan dihayati dengan benar. Semua itu mengakibatkan banyak praktek dan kebijakan publik yang tidak konsisten dengan cita-cita awal Republik ini.

Di sisi lain, pengambil kebijakan publik juga kurang menyadari perannya sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dan aksesabilitas pendidikan nasional. Selama ini fokus Pemerintah hanyalah  pada Perguruan Tinggi Negeri. Padahal PTN hanya menampung 30 persen populasi mahasiswa. Jadi sulit bicara peningkatan pendidikan tinggi nasional bila perguruan tinggi swasta yang menampung 70 persen student body masih bekerja dengan segala kekurangannya.

Menurut Mame, Pendidikan Tinggi Nasional tidak hanya melibatkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Justru komponen mayoritas pendidikan tinggi adalah Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Sayangnya proporsi  APBN dapat  dilihat bahwa hampir seluruh alokasi ditujukan bagi PTN. Padahal, tidak sedikit PTN ‘bersubsidi’ tak beranjak maju dan kualitasnya jauh di bawah PTS.

“Saya   tidak   minta   bantuan dan tidak menghimbau  agar PTS diberikan hak yang sama. Tapi paling tidak mahasiswanya sajalah yang diperhatikan. Mereka ini kan masa depan bangsa yang orang tuanya  juga pembayar  pajak dan banyak mengalami kesulitan  finansial.  Tidak  usah  bicara jauh-jauh  ke Kalimantan  atau Papua, di Jawa saja masih banyak yang  tidak  mampu  melanjutkan ke perguruan tinggi,” kata Mame.

Menurut Mame, yang terjadi kini justru  bea siswa untuk  mahasiswa PTN  naik tiga kali lipat. Sedangkan mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta hanya mendapat alokasi tidak lebih dari sepertiganya. “Ini kan diskriminasi. Padahal mereka semua sama-sama warga negara Indonesia. Seharusnya juga diperhatikan dong,” tegas Mame Sutoko.

Selain itu, menurut Mame, pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan tentang pembagian program studi (prodi) di PTN  dan  PTS.  Misalnya, PTN lebih diarahkan untuk membuka prodi ilmu-ilmu eksak dan teknik yang membutuhkan modal besar. Sedangkan untuk ilmu-ilmu sosial diserahkan PTS.

“Kalau    PTN    juga    membuka prodi yang sama, jelas PTS kalah bersaing. Kalau seperti Universitas Widayatama sudah bisa mengimbangi,  tapi PTS-PTS kecil lama kelamaan  akan tutup. Pemerintah harus membuat kebijakan yang pro terhadap  swasta.

Perlu  diingat,  PTS  menampung 70  persen  total  populasi  mahasiswa,” kata Mame. Menurut undang-undang, pemerintah berkewajiban menyediakan  sekolah  bagi  generasi baru. Hanya  saja kita pun mesti memaklumi bahwa pemerintah mustahil menyediakan semuanya. Dari tingkat dasar, menengah maupun pendidikan  tinggi. Oleh karena itu swasta tergerak untuk mengisi kekosongan tersebut.

Lembaga pendidikan swasta merupakan partner pemerintah. Swasta itu mandiri dalam operasionalnya. Maka untuk bisa menyediakan pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen, skill, dedikasi dan loyalitas. Artinya pendapatan yang diperoleh dari anak didik harus dikembalikan dalam bentuk peningkatan  kualitas  pendidikan dan lulusan.  “PTS jangan  hanya mementingkan income saja, tapi kualitas harus dijaga,” imbuh Mame mengingatkan.

Selain kurangnya komitmen untuk memajukan pendidikan tinggi, menurut  Mame, pemerintah nampaknya  tidak memahami sumber permasalahan yang dihadapi. Kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Sebab anggaran ini dialokasikan pada berbagai program tidak efektif, inkonsisten dan tidak berkesinambungan.

Ditambah lagi Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi sama sekali tidak memiliki sistim perencanaan, termasuk sumber daya manusia yang dapat diandalkan. Sumber utama adalah pemikir dari Perguruan Tinggi Negeri yang bekerja paruh waktu tanpa status, kurang pemahaman ataupun komitmen yang jelas bagi pengembangan  pendidikan  tinggi.  Isu  sektor  pendidikan  tinggi di Indonesia saat ini nampaknya tidak berbeda dengan 40 tahun silam, bahkan bertambah dengan kesenjangannya terhadap dunia internasional.

LATAH

Sudah menjadi kebiasaan para pengambil kebijakan untuk bersikap latah dalam menanggapi perkembangan atau isu baru. World Class University (WCU)   muncul   sejalan   dengan maraknya pemeringkatan Lembaga  Pendidikan  Tinggi oleh berbagai lembaga pemeringkatan independent mendorong Universitas di berbagai Negara mengejar status ‘berkelas dunia’.

Tentu meningkatkan standar mutu pada tataran internasional bukanlah hal yang buruk.  Tapi  perlu  diingat bahwa usaha tersebut memerlukan  alokasi  biaya  dan SDM yang besar. Pertanyaannya: apakah tolok ukur yang dituntut dalam berbagai aspek memang sesuai dalam konteks kebutuhan atau tuntutan nasional?

Dari pada berambisi mengejar status ‘berkelas dunia’ lebih baik pemerintah fokus pada kebutuhan dasar pendidikan tinggi seperti kesempatan akses bagi para lulusan pendidikan menengah atau kelangsungan pendidikan bagi masyarakat kurang mampu.  Apa artinya bisa mencapai standard universitas kelas dunia bila generasi muda yang tidak dapat melanjutkan pendidikan tinggi atau putus di tengah jalan.

Sebaiknya trade off antara kedua  sisi  yang  sama–sama penting tersebut dapat difikirkan dengan bijak mengingat sumber daya Indonesia sangat terbatas dibandingkan dengan negara lain. Tidak harus standard WCU diterapkan atau diwajibkan bagi semua institusi karena peningkatan kualitas memerlukan pembangunan infrastruktur yang bersifat gradual tidak mungkin dilakukan secara instant sekaligus. Oki/Sugeng

www.simplesharebuttons.comBerbagi dengan teman ...Facebook0Google+0Twitter0tumblrPinterest0LinkedIn0

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

CAPTCHA Image
Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: