Resensi Buku: Rakyat Kecil, Islam dan Politik

Penulis: Martin van Bruinessen, Penerbit:  Gading, Yogyakarta, 2013

Kemiskinan di wilayah urban telah lama menjadi masalah, sebab dari sinilah persoalan-persoalan yang lebih luas meluber. Kriminalitas, pengangguran, hingga konflik sosial adalah sebagian dari daftar panjang luberan masalah tersebut. Martin van Bruinssen, peneliti asal Belanda, secara cermat mencatat masalah tersebut dalam sebuah penelitian. Penelitian tersebut dilakukan di sebuah kawasan kumuh di kota Bandung pada pertengahan tahun 1980-1990-an.

Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa kemiskinan di wilayah  tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor. Faktor tersebut antara lain adalah kedatangan ataupun perpindahan penduduk ke wilayah tersebut. Perpindahan tersebut diikuti dengan sempitnya lapangan pekerjaan. Alhasil, penduduk terpaksa menjalankan pekerjaan informal seperti membuka warung, berdagang makanan kecil, atau bekerja sebagai buruh rumahan dengan mengupas bawang. Sayangnya usaha semacam itu selalu diikuti oleh penduduk lainnya. Persaingan tidak dapat dihindari. Persaiangan yang tinggi membuat  usaha tersebut tidak dapat bertahan lama. Mereka pun kembali bangkrut dan harus bersusah payah membangun usaha lain. Padahal untuk itu mereka harus menyiapkan modal yang banyak.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa rendahnya kreativitas dan kurangnya kemampuan inovasi membuat kompetisi sulit diatasi dengan baik.  Ada penduduk yang mencoba bertahan, ada juga yang menyerah begitu saja. Mereka yang bertahan harus menjalaninya dengan berat. Namun kemudian Bruinessen mempertanyakan posisi lembaga keagamaan.  Dalam hal ini ia menyandingkan posisi lembaga keagamaan dengan fenomena kemiskinan itu sendiri. Baginya, segala dinamikan lembaga keagamaan yang terjadi di Indonesia belum dapat menyentuh persoalan mendasar masyarakat, yakni kemiskinan.

Hal yang terjadi, banyak lembaga keagamaan yang justru terlalu sibuk dengan urusan kekuasaan dan politik. Buku ini memperlihatkan bagaimana NU (Nahdlatul  Ulama) yang semula merupakan lembaga keagamaan, mengubah dirinya menjadi lembaga politik yang kemudian terbukti banyak memberikan ruang yang menguntungkan bagi anggotanya. Namun kemudian ada dorongan internal agar NU menarik diri dari kegiatan politik. Dorongan ini dipicu oleh kenyataan bahwa organisasi tersebut semakin kurang memberikan perhatian kepada dakwah dan pembinaan umat. Hasilnya, pada tahun 1983, NU kembali  ke Khittah 1926.

Hal menarik lain yang disinggung dalam buku ini oleh Bruinessen adalah dinamika lembaga maupun kelompok-kelompok Islam yang ada dalam masyarakat.  Tampaknya memang tak mudah melepaskan Islam dari hiruk pikuk masalah sosial dan politik. Islam selalu menjadi elemen penting di dalamnya. Pada analisa Bruinessen, itu alasannya mengapa rezim berkuasa selalu melibatkan lembaga-lembaga Isalam untuk berbagai proyek ataupun programnya. Bagi pemerintah Islam bukan sekadar agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, melainkan juga potensi untuk melakukan sebuah gerakan. (resensi: ulas-buku.blogspot.com)

www.simplesharebuttons.comBerbagi dengan teman ...Facebook0Google+0Twitter0tumblrPinterest0LinkedIn0

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: