41 seniman pamerkan 100 karya “Rasah Dipikir” di Borobudur
41 seniman pamerkan 100 karya “Rasah Dipikir” di Borobudur
Sebanyak 41 seniman memamerkan sekitar 100 karya lukisan berupa “drawing” dengan tajuk “Rasah Dipikir” (Tidak perlu dipikir) di Rumah Buku Duniatera Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng, selama sebulan, mulai 9 Mei hingga 9 Juni 2015.
“Pameran ini ide awalnya berangkat dari dua anggota kami (Forum Kilometer Nol Borobudur, sebagai penyelenggara, red.), Mang Yani dan Arief Sulaiman,” kata Penasihat Forum Kilometer Nol Borobudur, Kabupaten Magelang Darmanto Andreas sebelum pembukaan kegiatan itu, di Borobudur, Sabtu (9/5) malam.
Para peserta pameran berasal dari sejumlah kota, seperti Yogyakarta, Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Bali, Semarang, Klaten, Solo. Di antara mereka, juga kalangan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.
Ia mengemukakan menggambar sebagai naluri paling purba saat godaan estetik seseorang sejak kecil mendera tanpa kenal tempat dan waktu.
“Pameran ini mewadahi naluri purba itu,” kata Darmanto yang juga pelukis dan desainer buku yang tinggal di sekitar Candi Mendut Kabupaten Magelang itu.
Ia mengemukakan dalam konteks paling kontemporer, tentang apa definisi “drawing”, barangkali harus mengacu kepada para akademisi dan sekaligus para autodidak.
Untuk itu, katanya, harus dipercaya dengan sepenuh hati, ketika melintas di kepala para perupa, suatu konsep yang bebas tentang “drawing yang membebaskan”.
Ia mengemukakan konsep tersebut semestinya berusaha tidak mengacu lagi (secara keras kepala) kepada pembatasan media, gaya, teknik, dan tradisi yang sudah telanjur menjadi sejarah yang membatasi pemahaman tentang karya lukis tersebut.
Setidaknya, katanya, ketika melihat kenyataan media kertas untuk tradisi menggambar yang selama ini semacam menjadi karakter baku, sebagian besar perupa gambar mulai mengangkat “drawing” di atas media kanvas dengan memadukan berbagai alat dan teknik.
“Boleh jadi hal ini juga dilakukan oleh sebagian besar perupa akademis. Gejala ini setidaknya memberi isyarat bahwa drawing akan segera naik kelas,” katanya.
Ia menyebut pameran “drawing” tersebut sebagai improvisasi para perupa, khususnya yang tergabung dalam Forum Kilometer Nol Borobudur, dengan melibatkan banyak seniman berasal dari sejumlah kota.
“Penyelenggaraan ini setidaknya membuka kesadaran untuk menggarap pameran serupa secara lebih serius,” katanya.
Sejumlah karya “drawing” yang dipamerkan di Rumah Buku Duniatera Borobudur, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur itu, antara lain berjudul “Lihat Depan” (Budiyono), “Master of Puppet” (Didit Pratomo), “Potret Diri” (I Made Arya Dwika Dedok), “Ndadi Art” (Kartiko Prawiro), “Slash” (Muhammad Fahmi), dan “Communication Series with Flower#1”.
Pembukaan pameran yang dirangkai dengan pementasan kesenian secara berkala dan mandiri oleh Forum Kilometer Nol Borobudur di Pendopo Rumah Buku Duniatera itu, antara lain dihadiri Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edy Susanto, Koordinator Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) Umar Chusaeni, pengelola “Tuksongo Visual Arts House” Dedy PAW, dan pengamat seni budaya Universitas Tidar Magelang Tri Setyo “Gepeng” Nugroho