Jangan Lihat Cangkirnya
Kisah ini dituturkan seorang kawan yang kini sudah bekerja di luar kota. Suatu ketika ia bersepakat dengan beberapa teman, berkunjung ke rumah guru favorit mereka saat masih duduk di bangku SMP. Meski terlihat sudah lebih sepuh (berusia lanjut), wajah sumingrahnya tak pernah bisa disembunyikan. Senyumnya terus mengembang sepanjang dialog dengan ’tamu-tamu istimewanya’ itu. Usai pensiun, sang guru sepuh itu kini tinggal bersama dengan salah seorang putranya yang terbilang cukup sukses.
Di tengah hangatnya perbincangan, muncullah celotehan salah satu teman yang ditimpali pula oleh kawan lainnya. Betapa hidup sekarang terasa penuh beban. Tuntutan pekerjaan, lingkungan keluarga dan suasana kantor yang tidak nyaman, membuat stress. Istilah yang mereka sebut, bikin galau!
Sang guru sepuh tersenyum, beranjak dari kursi, lalu ke ruang belakang. Tak lama berselang, ia muncul diikuti seorang perempuan setengah baya dengan membawa teko besar dan deretan cangkir aneka macam. Baik warna maupun material pembuatnya. : porselen, kaca, kristal, dan lain-lain; sebagian bagus dan berharga mahal, akan tetapi sebagian lagi bentuknya biasa saja, dan terlihat berharga murah.
’Silakan diminum. Ini coklat hangat. Ambil saja sendiri, ya. Maaf lho, cangkirnya beda-beda,” kata sang guru sepuh mempersilahkan.
Ketika mereka semua memegang secangkir coklat panas di tangan, sang guru sepuh yang bijak berkata, “Coba perhatikan, semua cangkir yang bagus dan mahal telah diambil. Yang tersisa, cangkir yang biasa dan murah.” Suara seruput coklat hangat itupun tiba-tiba terhenti. Mata mereka melihat cangkir yang dipegang, sejenak beralih ke cangkir temannya yang lain.
”Tapi tentu saja, normal bagi kita untuk menginginkan yang terbaik. Namun, tanpa kalian sadari, itu adalah sumber dari masalah dan stres kalian.”
Suasana makin hening.
”Sejatinya, cangkir ini tidak menambahkan kualitas dari coklat panas yang kalian minum. Pada kebanyakan kasus, itu hanya menambah mahal, dan bahkan menyembunyikan apa yang kita minum. Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah coklat panas, bukan cangkirnya. Tetapi secara tidak sadar kalian menginginkan cangkir yang terbaik. Lalu, kalian mulai saling melihat dan membandingkan cangkir kalian masing-masing.”
Mereka masih terdiam, sembari menunggu.
“Sekarang pikirkan ini: Kehidupan adalah coklat panas. Pekerjaan, uang, dan kedudukan adalah cangkirnya. Itu hanyalah alat untuk memegang dan memuaskan kehidupan. Cangkir yang kau miliki tidak akan menggambarkan, atau mengubah kualitas kehidupan yang kalian miliki.”
“Terkadang, dengan memusatkan perhatian kita hanya pada cangkirnya, kita gagal untuk menikmati coklat panas yang telah Tuhan sediakan bagi kita. Tuhan membuat coklat panasnya, tetapi manusia memilih cangkirnya. Orang-orang yang paling bahagia mungkin tidak memiliki semua yang terbaik. Mereka hanya berbuat yang terbaik dari apa yang mereka miliki.”
Sang guru sepuh itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Jadi agar hidup kalian lebih tenang, hiduplah dengan sederhana. Bermurah hatilah. Perhatikanlah sesama dengan sungguh-sungguh.”
Ia kemudian menuang coklat hangat itu di cangkir plastik yang tersisa. Dan meminumnya dengan nikmat. *** (dari berbagai sumber)