Menakar Makna Kemerdekaan Hakiki
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan…”
Begitulah sepenggal kalimat yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ya, mungkin kita berpikir sempit bahwa penjajahan adalah bentuk penguasaan juga perbudakan oleh bangsa asing terhadap kaum pribumi, katakanlah kolonialisme atau imperialisme. Namun lebih dari itu, pejajahan harus lebih kita cermati sebagai sisi lemah dalam diri kita menghadapi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Saat kita ini merayakan peringatan kemerdekaan dengan beraneka kesenangan. Tiap pelosok kampung, kota, tak pernah ketinggalan dalam kemeriahan pesta kemerdekaan. Di sisi lain, sering pula kita mendengar keluh kesah bahwa sebenarnya kita belum merdeka. Mungkin benar, melihat apa yangsesungguhnya terjadi tanpa kita rasakan maupun sadari. Bangsa ini masih belum mampu memerdekakan diri dari penjajahan hati nurani.
Para pendahulu kita, peletak pondasi dasar negara Indonesia, mencita-citakan sebuah negara yang besar, adil, makmur, sejahtera layaknya yang tertuang dalam Pancasila. Akan tetapi kadangkala kita lupa, betapa dalam makna serta tujuan yang harus kita capai tersebut. Sehingga kita lebih mengharapkan sesuatu yang lebih nyata di depan mata, tanpa mempertimbangkan sebab serta akibatnya. Kita kini dijajah nafsu keserakahan, serta kekuasaan. Kita lupa, kita kesampingkan pedoman Pancasila.
Kita lupa sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, bahwa Tuhan tidak melihat umatnya kecuali dari amal ibadahnya. Tapi, bagaimana umat dapat khusyu’ beribadah sementara masih terasa benih-benih diskriminasi yang terus mengintimidasi umat minoritas.
Kita kesampingkan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hak setiap warga negara adalah keadilan, kesetaraan, dan rasa kemanusiaan. Manusiawi-kah saat kekuasaan memaksakan kepentingannya tanpa mempertimbangkan nasib rakyat.
Kita ingkari sila ketiga, Persatuan Indonesia, saat idealisme golongan lebih dari segalanya.
Kita lalaikan sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan. Bagaimana kita menemukan wakil rakyat yang bijaksana, jika uang lebih kita pedulikan daripada tujuan.
Maka kita hanya akan terus bermimpi untuk dapat mewujudkan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kawan, kini saatnya kita introspeksi diri, melihat jauh kedalam hati, sudah pantaskah kita merdeka? Sudah saatnya kita tegakkan kembali Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa. Dengarkanlah sebait lagu karya Iwan Fals, “…coba kau dengarkan, Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut, yang hanya berisi harapan, dan hanya berisi khayalan…”
Yakinlah kawan, keteguhan sang Garuda akan tetap kuat mencengkeram Bhinneka Tunggal Ika dalam genggamannya, menjaga merah putih tinggi berkibar. Tatapan sang Garuda akan membawa masa depan Indonesia yang lebih jaya.
Dirgahayu Republik Indonesia, merdeka!!