Sepatu Batik Tembus Pasar Internasional
Sepatu batik berhak tinggi banyak diminati wanita. Pemasaran lebih mudah dan luas dijual secara online.
Suara mesin jahit terdengar ritmis berpadu dengan alunan musik dangdut terdengar dari sebuah ruangan di Jalan Sunan Kalijaga 2 Nomor 31, Kelurahan Jurangombo Selatan, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang. Saat memasuki ruangan, aroma lem terasa begitu kuat menusuk penciuman. Di ruangan berukuran 6 x 5 meter ini terlihat kesibukan sejumlah karyawan mengerjakan sepatu batik. Ada yang mengamplas, memaku sol, menjahit dan memotong bahan sesaui desain sepatu yang dibuat.
Mia Widyastuti, pemilik usaha sepatu merk Mia Widy tampak serius mengawasi dan meneliti hasil kerja karyawannya. Seolah tak mau ada satu pun sepatu yang dihasilkan karyawannya yang cacat atau salah desain, maka ia pun meneliti satu persatu sepatu dengan cermat. Tak jarang, ia meminta agar karyawannya yang semuanya adalah kaum lelaki untuk memperbaiki sepatu, jika ia menemui kekurangan.
“Saya merintis usaha ini dari nol. Dengan cucuran airmata, jatuh bangun, dan kerja keras, saya membesarkan usaha ini. Saya merasa terus terpanggil untuk membuat sepatu, meski harus melalui jalan yang berliku,” kata Mia saat ditemui Cempaka, Senin lalu.
Bisnis sepatunya ini dirintis Mia sejak tahun 2011. Ia memakai namanya sendiri untuk merek sepatunya. Mengingat keterbatasan modal, ia mengaku pada awalnya bisnisnya ini hanya dijalani sendiri tanpa karyawan. Bahkan, saat awal menjalankan usaha ia tak bisa menggambar. Untungnya, tukang sepatu yang diajak kerjasama paham dengan keinginannya. “Waktu itu, saya hanya bermodal ide saja. Saya bolak-balik mendatangi tukang sepatu mulai dari proses membuat pola sampai finishing.” katanya menambahkan awalnya sepatu tersebut dijual secara online.
Sepatu buatan sebagaian besar sepatu berhak tinggi. Model pertama yang dibuat adalah sepatu high heels yang terbuat dari kain jarit gendong. Model sepatu tersebut ternyata diminati konsumen. Bahkan, karena keunikan desain sepatu buatannya tersebut membuat wanita kelahiran 2 Mei 1982 melancong ke negeri tetangga untuk mengikuti pameran di Hongkong Fashion Week. Selanjutnya, Mia mengenalkan produknya ke berbagai ajang pameran baik skala kecil dan besar digandeng oleh Kementerian Perindustrian.
“Saya justru dikenal lewat pameran-pameran. Waktu itu branding sepatu corak jarit sangat melekat dengan nama saya. Bahkan, dari situ, saya sempat mendapatkan tawaran untuk interview khusus di salah satu televisi nasional, tapi batal, karena saya belum punya tempat sendiri,” kenangnya.
Inspirasi suami
Bisnis sepatu Mia ini tak lepas dari pesan mendiang suaminya, Nicky Zulmansyah. Sebelum suaminya meninggal dunia, Mia mengaku pernah mendapat pesan terakhir melalui laman facebook yang ditulis suaminya. Pesan tersebut menjadi api semangat baginya untuk terus mengembangkan usahanya. “Suami saya waktu itu pesan kepada saya dan menulisnya di facebook. Ia mengatakan kepada saya, taruh cita-cita dan impianmu 5 centimeter di depan mata kamu, supaya kamu mau mengejarnya terus,” kenang Mia.
Bahkan, perhatian suaminya diwujudkan dengan mengajak Mia pergi ke sejumlah pengrajin sepatu di Jakarta. Mia diajak mempelajari bagaimana sepatu-sepatu itu dibuat. Tujuannya, agar dirinya terinpirasi dan memiliki greget untuk membuka usaha yang sama. “Suami tahu saya suka sepatu high heels. Lalu, ia mengajak saya ke sebuah home industri. Saya sekarang baru menyadari tujuan dia mengajak saya ke sejumlah perajin waktu itu agar saya bisa belajar menjadi pengusaha sepatu,” tutur Mia.
Sepeninggal suaminya, otomatis kehidupannya pun berubah, ia bertekad untuk bisa membiayai anak semata wayangnya, Pio Abia Daud. Pahit getir dunia usaha pun ia lalui. Sempat membuka kios butik dan kue, namun usaha membuat sepatu terus memanggilnya. Meski sempat rugi besar saat pertama kali membuka bisnis ini, ia mengaku tak gentar untuk memperjuangkan usahanya tersebut. “Awalnya memang pasang surut. Saat gagal, saya mencoba membuka kios butik, bahkan juga berjualan kue. Tapi kok kata hati ini selalu mengatakan harus tetap di dunia sepatu,” ucapnya.
Mia yang kala itu mendapat suntikan modal Rp 80 juta, akhirnya hijrah ke Magelang. Dia menjalankan bisnis sepatunya dengan modal keyakinan yang kuat. Selain sepatu berhak tinggi, ia juga memproduksi varian lain, Dua model sepatu lainnya, yakni sepatu cinderella koil dan style anyaman. Usaha tersebut semakin berkembang dengan adanya tukang sepatu dari Bandung yang cocok dengan ide-idenya. Berkat keuletannya, saat ini, Mia mengaku bisa memproduksi 400 pasang sepatu per bulan. Omzet minimalnya sekitar Rp 25 juta per bulan.
Mia masih fokus mempromosikan sepatu-sepatunya secara online. Karena, dengan menjual online, pemasarannya bisa ke mana saja dan lebih gampang. Bahkan, ujarnya, pembeli sepatunya banyak yang berasal dari Malaysia, India, Australia, dan Singapura. ”Beberapa kali, ada pesanan dari orang Italia. Sementara, kalau di Indonesia, saya kerap menjual ke Yogyakarta dan Jakarta,” ujar Mia yang ingin segera mempunyai outlet sepatu.
Ia mengatakan, meski produk lokal, kualitas dan desainnya bisa menembus pasaran nasional, bahkan internasional. Baru-baru ini, dia juga menandatangani kontrak dengan sebuah laman online shop besar lainnya.
“Saat ini saya sedang berupaya untuk mencoba membuat sepatu pria. Tentu saja sepatu-sepatu hasil karya saya tetap menggunakan merk Mia Widy Shoes,” tutupnya sambil tersenyum. Ely/Prabu