Pengantin Baru : @ry@ sutha

Pak Gun, tuan tanah di desa Candi Kala akan melakukan hajat besar. Semua rewang sibuk mempersiapkan segala macam kebutuhan. Mulai dari bahan makanan sampai bahan pakaian untuk sang pengantin. Jangan tanya siapa Pak Gun, setiap orang di desa Candi Kala mengenalnya. Sawahnya tak terhitung banyaknya. Setiap musim panen tiba, halaman rumahnya seperti gurun gabah, menghampar gabah yang telah dipetik dari sawahnya untuk dijemur. Puluhan orang jadi rewang. Pak Gun hanya berdiam di rumah. Menunggu para penjual gabah mendatanginya untuk membeli gabah darinya. Rumahnya cukup sederhana bagi seorang tuan tanah. Tak punya mobil seperti orang kota. Dia hanya memiliki tiga orang anak perempuan. Semuanya belum mempunyai suami. Walau orang desa, anak-anak Pak Gun mempunyai ijazah perguruan tinggi semua. Anak yang pertama, Welas Asih, sarjana hukum. Wijayanti, bertubuh tinggi semampai lulus comloude di fakultas kedokteran. Bungsunya; Kinasih hanya seorang bidan. Tapi ada satu yang tak dimiliki Pak Gun, anak laki-laki. Semua akan menikah pada hari yang sama. Menikahkan tiga orang sekaligus dalam hari yang sama tentu bukan hal yang biasa. Penghulu sudah disiapkan. Tak lupa juga dia memanggil Maulidya dan Maunindya.
*
Janur kuning sudah melengkung. Bunga melati menyengat membelah aroma tanah yang baru terguyur hujan. Bagaimana? Sah?. Sah !! serempak di jawab oleh semua kerumunan orang yang mengikuti jalannya ijab. Ketiga anak manusia siap bertarung dengan kenyataan. Menikah adalah suatu kewajiban. Wajib untuk dilakukan dengan keikhlasan. Ada yang tersenyum dan ada yang menangis. Apakah kebahagiaan harus dilakukan dengan senyum, dan apakah kesedihan harus di tangisi.
*
Sebelum acara pernikahan tiga putrinya, Pak Gun sering melamun di beranda rumahnya. Lamunannya buyar saat istrinya menghampiri dengan secangkir teh yang masih mengepul. Pandangannya kosong menyapu halaman yang luas.
“Bagaimana jika anak-anakku pindah ke kota?”
“Biar saja, biar mereka memilih jalan sendiri”
“Tapi, nanti kita hanya berdua di sini”
“Tak apa Pak, masih ada Roso, biar dia yang temani kita disini”
Roso, tak punya siapa-siapa. Dia anak lelaki yang malang. Sejak kecil sudah diasuh Pak Gun. Tak pernah mengenal pendidikan dan sekolah. Alam dan lingkunganlah yang mendidik. Orang tua Roso entah pergi kemana. Keberuntungan berpihak pada Roso. Dia bisa bertahan hidup. Roso tak pernah bermimpi untuk mendapatkan bagian harta dari Pak Gun. Namun Pak Gun begitu sayang dengan Roso.
*
Maulidya dan Maunindya, selalu ada disamping setiap pengantin di upacara pernikahan. Mereka bekerja menjadi pengapit pengantin. Siapa yang tak kenal dengan pengapit panggilan ini. Sebuah pekerjaan yang membuat setiap tamu yang datang terpesona. Tak kalah dengan gadis kota yang bermodal dandan, ia hanya bermodal anugerah Tuhan. Kabar pun tersebar dari mulut ke mulut. Pengapit panggilan. Siap datang dan menemani sang pengantin untuk dipajang. Mereka selalu ada dalam setiap upacara pernikahan. Siapapun. Mulai dari perangkat desa, pengusaha sampai orang biasa. Pernikahan merupakan upacara yang sakral dan menjadi ukuran bagi setiap orang untuk menilai calon keluarga baru tersebut. Memang pernikahan menjadi semacam pesta buang uang. Mereka hanya bekerja mencari uang. Namun apakah mereka akan menolak permintaan Pak Gun?
*
Maulidya dan Maunindya selalu mendapat surat dari lelaki yang baru dikenalnya, ataupun temannya. Selalu yang ditanyakan kapan kau menikah? Surat dan kartu pos usang. Tapi ia selalu sempat membaca kenangan itu. Gadis harus ada yang meminangnya. Mata yang bukan matanya. Apa yang menjadi kisahnya ini sebagai kenangan. Lihat matanya. Bulat tak ada garisnya. Bahkan yang dikatakan bukan kata-kata yang biasanya. Lantas perjuangan itu apakah akan dilakukan? Beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan diri mulai beranjak mengaliri kepala. Dengan rasa yang agak ketakutan semua itu dijalankan dengan perlahan-lahan. Semua yang akan dijanjikan bukan tatapan yang biasa. Biarlah semua berjalan dengan cara yang biasa saja. Seperti perkataan yang kemarin, masih ingatkah? Semua yang dikatakan mengiris telinga. Cahaya lampu yang temaram tetap bersinar seperti biasanya. Tak ada yang istimewa. Mengantarkan semua yang akan dijanjikan dengan cara yang berbeda. Tidak ada yang berlaku dalam perjanjian yang lama dan perjanjian yang baru. Kesepakatan yang dihasilkan tidak semua menjadi yang diharapkan oleh semuanya. Mereka tidak pernah tahu, dan tak’kan bisa mengerti. Sampai pada waktu yang akan dijanjikan semua berjalan dengan berbeda. Teman meninggalkanku saat itu. Perlahan-lahan mereka menjanjikan tanah, kasih sayang dan hal-hal yang remeh temeh.
Mengapa tidak kau katakan saja. Buat apa berkata, itu tidak akan memberikan apa yang telah mengganggu pikirannya selama ini. Tak jauh beda dengan menyakiti apa yang kau katakan semua itu ada benarnya semua tidak bisa dipaksakan. Aku menyukaimu bukan aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan. Jalan hidupmu bersama dengan apa yang di pikirkan saat ini.
Beberapa tahun yang telah dilalui mereka-reka senja dan seperti beberapa saat yang memilukan datang. Melihat mereka duduk di pelaminan dan diapit oleh orang yang pernah berpadu kasih, bercumbu dengan malam. Menunggu dengan setia. Makan berdua, semua berdua. Bagaimana dengan janji yang pernah terucap?
Maulidya dan Maunindya melihat kekasihnya bersanding di pelaminan dengan senyuman. Senyum yang berbeda dengan Roso. Kekasih yang pernah berucap dan bercumbu dengan waktu. []
-2012-

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: