Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang pemilik perusahaan. Beliau bercerita panjang lebar kepada saya tentang kesuksesaannya mengelola perusahaan selama 22 tahun tanpa pernah ada karyawannya yang mengadu ke Dinas Tenaga Kerja.
“Kalau ada karyawan yang tidak baik, saya panggil. Saya ajak bicara baik-baik. Lalu dia mengundurkan diri. Saya tidak pernah memberikan pesangon sesuai Undang-Undang. Dan tidak ada yang menggugat saya,” kata beliau.
Karena perbincangan ini bukan dalam rangka berdebat, saya menyimak perkataan beliau baik-baik. “Bisa menambah wawasan buat saya,” kata saya dalam hati.
Saya mulai bertanya-tanya di dalam hati ketika beliau berkata bahwa beliau tidak pernah memberikan pesangon sesuai Undang-Undang selama mengelola perusahaan selama 22 tahun itu.
“Menurut Pak Tinus, orang ini bagaimana?” tanya teman saya yang ikut mendengarkan percakapan ini. Teman saya ini kebetulan seorang direktur sebuah perusahaan investasi.
Memimpin perusahaan dengan pendekatan kekeluargaan memang baik, karena kekeluargaan adalah salah satu ciri khas masyarakat kita. Tetapi ketika hal itu berakibat karyawan tidak mendapat pesangon sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka perlu dicermati apakah kepemimpinan seperti ini masih dapat dikatakan sebagai kepemimpinan yang baik dalam mengelola perusahaan.
“Jadi menurut Pak Tinus harus tetap berdasarkan hukum ?” tanya teman saya yang ikut mendengarkan pembicaraan tadi.
“Ya,” kata saya. “Mengelola perusahaan memang harus dengan hati, namun apabila hal itu bertujuan supaya karyawan sungkan sehingga tidak menuntut haknya sesuai Undang-Undang, jadinya kurang tepat juga”.
Tentu saja, yang dimaksud dengan memimpin atau mengelola perusahaan dengan hati adalah dengan memperhatikan aspek-aspek psikologi, seperti mengajak bicara secara baik-baik dan sejenisnya. Tetapi peraturan perusahaan secara tertulis menyangkut pesangon dan sebagainya seperti yang ditentukan oleh Undang-Undang juga harus dijalankan.
“Saya tidak mendorong karyawan untuk selalu menuntut haknya sesuai ketentuan Undang-Undang. Tetapi adalah baik ketika di zaman modern ini karyawan juga memiliki kepastian hukum tentang hak-haknya, misalnya tentang pesangon,” kata saya.
Di tahun 2004, ada seorang direktur sebuah perusahaan bertanya kepada saya tentang pentingnya penerapan aspek manajemen, psikologi, dan hukum dalam memimpin atau mengelola perusahaan.
“Memang tidak berarti para pemimpin atau pengelola perusahaan harus punya gelar akademis manajemen sekaligus psikologi dan hukum,” kata saya. “Tetapi ketika perusahaan ingin merekrut karyawan yang baik, ingin mempertahankan karyawan yang baik, penerapan ketiga bidang ilmu tersebut sudah selayaknya dilakukan secara menyeluruh. Peranan manajemen dalam memimpin dan mengelola perusahsan sudah secara luas dipahami. Kini, juga harus dilengkapi dengan psikologi dan hukum”.
Nah, bagaimana caranya kalau memang bukan berlatar pendidikan psikologi atau hukum ?
Ya sebaiknya berkonsultasi dengan praktisi datau konsultan yang menguasai itu.
Zaman memang semakin maju dan semakin kompleks, dan memimpin atau mengelola organisasi juga harus menyesuaikan.
Sekedar informasi, beliau yang saya ceritakan di awal tulisan ini, yang tidak mau menggunakan pendekatan hukum, sekarang ini sibuk menawarkan perusahaan-perusahaannya untuk dijual. Artinya, bisnisnya sedang mundur.
Recent Comments