Gelegar suara Bung Tomo bergemuruh melalui corong RRI pada 10 November 1945. “Lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka. Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI.” Orasi itu membakar semangat arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru berumur tiga bulan.
Kala itu tentara Inggris yang diboncengi pasukan Nedherland Hindia Civil Administration menyeruak masuk ke kota Surabaya. Mereka hendak memperpanjang lagi pemerintahan kolonialnya di bumi pertiwi yang sempat direbut Jepang pada 1942.
Tapi kemerdekaan telah diproklamirkan. Dan preambule Undang-Undang Dasar 45 telah menggariskan bahwa: “Penjajahan dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Walhasil pertumpahan darah tak terelakkan dengan kekuatan tak sepadan. Sekitar 30.000 infanteri Inggris bersenjata lengkap plus dukungan 50 pesawat tempur, 24 buah tank dan sejumlah kapal perang melawan rakyat sipil dengan bambu runcing. Setidaknya ada 6 ribu pejuang kita gugur di medan laga.
Pertempuran berdarah tersebut langsung membangkitkan semangat rakyat. Seantero negeri bergolak. Perlawanan mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan terjadi di mana-mana. Itulah sebabnya peristiwa 10 November ini lantas ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Surabaya pun berjuluk kota Pahlawan. Lalu siapa yang berhak disebut pahlawan? Hanya Bung Tomo-kah? Khalayak pasti sepakat kalau para pejuang dan rakyat yang menjadi korban adalah pahlawan.
Meski nama mereka tak dikenal jasanya mustahil dilupakan. Karena mereka, bangsa Indonesia membuktikan semangat persatuan nasionalisme mampu melumerkan belenggu penjajahan.
Ingatlah: ”Bangsa yang baik adalah bangsa yang mau menghormati pahlawannya.”
Recent Comments