Serangkaian bencana melanda Indonesia. Gempa bumi tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di Samudra India yang disertai gelombang pasang (Tsunami) dan menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia (Aceh dan Sumatera Utara), stunami di Pangandaran, meletusnya Gunung Merapi di Jawa tengah, Gunung Kelud di Jawa Timur, juga tanah longsor dan banjir di berbagai wilayah.
Peristiwa tersebut sungguh menyisakan kondisi yang sangat memilukan. Korban bencana tidak hanya kehilangan harta benda, menderita luka fisik, dan kehilangan orang-orang tercinta, tetapi juga mengalami gangguan psikologis.
Berbagai pihak, termasuk pemerintah telah menunjukkan kepedulian yang tinggi terutama dalam bentuk rehabilitasi dan rekonstruksi pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban, perumahan, pembangunan prasarana dan sarana umum, fungsi pemerintah dan pelayanan publik, sosial ekonomi, dan budaya.
Namun persoalan yang dihadapi korban bencana bukan melulu hal tersebut. Ada hal lain yang masih terabaikan dari prioritas rehabilitasi dan sangat dibutuhkan para korban bencana yaitu rehabilitasi psikologis. Suatu upaya untuk meningkatkan imunitas psikologis. Yaitu kekebalan dalam diri korban bencana untuk tetap dapat bertahan pada tempat terjadinya bencana dan tetap bertahan hidup.
Korban bencana yang tidak memiliki imunitas psikologis menunjukkan perilaku antara lain menangis terus menerus, merintih memanggil orang sudah meninggal karena bencana, duduk menyendiri dengan tatapan hampa, ketakutan, dan tak memiliki nafsu makan. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi jika mereka dibiarkan dan tidak ada yang peduli. Tentu bantuan makanan dan obat-obatan yang melimpah ruah, pembangunan rumah, pendidikan, dan kesehatan menjadi kurang bermanfaat. Banyak makanan tersedia tetapi mereka tidak ingin makan, diberi modal tapi enggan berusaha, dibangun sekolah tapi tidak ada yang berminat, diberi obat tetapi tetap sakit, dibangunkan rumah juga tidak merasa bahagia.
Oleh karena itu mengembalikan kondisi mental yang porak poranda akibat bencana, penting dilakukan beriringan dengan rehabilitasi fisik dan sarana prasarana agar mereka dapat kembali menjalani kehidupan sehari-hari dengan efektif.
Anak-anak Paling Rentan
Selain korban jiwa dan kerugian materil, juga membawa trauma fisik dan psikis mendalam khususnya pada anak-anak. Anak dan perempuan adalah kelompok paling rentan mengalami trauma pascabencana. Selain kejadian bencana itu sendiri, kondisi posko pengungsian yang minim fasilitas dan tidak ada hiburan cenderung membuat anak berada dalam keadaan depresi dan stress.
Oleh karena itu, penanganan trauma healing dan konseling bagi anak-anak serta perempuan yang menjadi korban bencana sangat diperlukan untuk memulihkan kondisi mereka seperti semula.
Trauma healing bisa dilakukan melalui permainan yang edukatif, dongeng, buku bacaan, menyanyi, dan lainnya. Ini sangat penting untuk menghilangkan kesedihan yang mereka alami, dan memberikan semangat pada anak-anak untuk agar merasa tidak sendiri dan banyak orang peduli terhadap mereka.
Melalui terapi tersebut, anak-anak diajak untuk menemukan atau mengidentifikasi bentuk trauma melalui ekspresi yang mereka tampilkan dalam permainan. Misalnya, ketakutan, kecemasan, susah tidur, dan ketakutan lain yang sebelumnya belum pernah dialami.
Untuk menghilangkan kecemasan pasca bencana, trauma healing tidak cukup hanya sekali, tetapi bertahap dan berulang. Sebab, tanpa pemulihan, trauma anak bisa dibawa hingga dewasa.
Konseling Traumatis
Pengalaman traumatis terjadi ketika seseorang mengalami atau menyaksikan suatu ancaman yang mengancam dirinya dan merespon dengan rasa takut dan rasa tidak berdaya (Forgash & Knipe, 2008; Carll, 2007). Peristiwa atau kejadian yang menekan di luar pengalaman manusia, seperti perkosaan, bencana alam, kecelakaan, kekerasan seksual, perang atau penyiksaan (Barabaz et al, 2011; Carll, 2007).
Carll (2007) menambahkan peristiwa trauma dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder / PTSD) meliputi perasaan takut yang berlebihan, tidak berdaya dan cemas. Gejala utama bagi orang yang mengalami PTSD adalah seolah-olah orang tersebut mengalami dan merasakan kembali pengalaman yang membuat trauma (seperti mimpi buruk, pikiran yang terus mengganggu, dan selalu teringat kejadian trauma); melakukan penghindaran terhadap semua hal yang mengingatkannya terhadap kejadian (mengindari pikiran, orang, aktivitas dan segala hal yang berkaitan dengan kejadian trauma); sulit untuk konsentrasi, sulit tidur dan amarah yang meledak-ledak (Herman, 1992; Forgash & Knipe, 2008; Carll, 2007).
Orang yang mengalami trauma cenderung mela-kukan penghindaran, cemas yang tinggi, depresi, selalu teringat kejadian yang menyakitkan, rasa waspada yang berlebihan dan mati rasa emosi (Litz, 1992).
Gejala tersebut dapat muncul pada aspek fisik, emosi, perilaku, dan spiritual. Simptom yang muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu, mual-mual, pening, sesak napas, dan panic.Pada aspek emosi dapat muncul simptom kehilangan gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, dan merasa rendah diri. Syomton yang muncul pada aspek mental antara lain kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tidak dapat berkonsentrasi, dan tidak mampu mengingat dengan baik. Aspek perilaku ditunjukkan dengan sulit tidur, kehilangan selera makan, makan berlebihan, banyak merokok, menghindar, sering menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakkan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan, mengurung diri, dan menyalahkan orang lain. Sedangkan pada aspek spiritual, seseorang akan mengalami gejala-gejala putus asa, hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, dan meragukan keyakinan.
Dari gambaran di atas, sungguh, mereka sangat membutuhkan sentuhan psikologis untuk mengembalikan kondisi mental mereka yang penuh pengalaman-pengalaman traumatis, sehingga terbentuk imunitas psikologis terhadap trauma pasca bencana. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan pelayanan konseling traumatis.
Misi utama pelayanan konseling traumatis adalah membantu memulihkan kondisi psikologis dan sosio emosional korban bencana agar dapat kembali memiliki kehidupan yang efektif. Layanan konseling traumatis membantu individu korban bencana dalam mengambil keputusan-keputusan secara tepat terhadap problem psikologis yang dihadapinya dan bertindak atas pilihan-pilihannya, sekaligus dalam rangka menjalankan fungsi konseling itu dalam dimensi kuratif (penyembuhan), supportif (dorongan), semangat, penyejuk suasana, penetralisir, reeducatif, maupun preventif (dalam arti agar masalahnya tidak meluas dan mendalam, sehingga semakin berat dan kompleks). ***
Recent Comments