LEBARAN, Tak Sekedar Tunai Puasa Sebulan

Sedih atau Gembira?
Ada satu perbedaan yang mencolok antara Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, dengan kita para umatnya yang hidup di jaman sekarang.
Menyongsong berakhirnya bulan Ramadhan Rosulullah dan para sahabatnya menumpahkan kesedihan yang amat dalam karena akan berlalunya sebuah kesempatan yang sangat besar untuk mendapatkan pahala yang berlimpah dari Allah SWT. Sehingga banyak diantara mereka menangis, takut, khawatir, kalau-kalau di tahun berikutnya tidak bisa lagi bertemu dengan bulan Ramadhan.
Kalau dulu Nabi dan para sahabatnya begitu sedih mengakhiri Ramadhan, kita umatnya malah gembira meninggalkan bulan Ramadhan. Seakan merasa bebas dari kekangan yang membatasi dari makan, minum, bicara dan bergaul bebas. Seakan-akan sudah merasa cukup banyak beramal di bulan Ramadhan.
Akibatnya banyak diantara kita, pasca Ramadhan kembali tenggelam dalam lautan dosa dan kemaksiatan, kembali lagi pada keadaan sebelum Ramadhan. Bahkan lebih buruk lagi. Sehingga hasil pelatihan di madrasah Ramadhan tidak membekas sama sekali. Inilah orang-orang yang rugi.
Kalau dulu Rosulullah dan para sahabat sangat sibuk  beribadah dan beri’tikaf di akhir Ramadhan, umatnya yang sekarang di akhir Ramadhan juga sibuk, tapi urusan persiapan lebaran. Belanja pangan dan sandang, bikin makanan dan beli baju baru, sibuk mempercantik rumah plus mengganti perabotan dan seterusnya. Sehingga meninggalkan ibadah yang seharusnya dijadikan prioritas utama.
Kalau dulu dalam mengakhiri Ramadhan, Rosulullah rajin i’tikaf di masjid, kita umatnya mengakhiri Ramadhan, pagi-pagi buta sudah sibuk di pasar. Jamaah tarawih mengalami “kemajuan” alias di awal Ramadhan shof-nya  membludak hingga halaman, namun di masa akhir tinggal segelintir orang di belakang imam.
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi  menuliskan; Nabi Muhammad SAW, lanjutnya, selalu membaca surat al-A’la pada salat Id-nya. Begitu juga dengan Ali bin Abi Thalib k.w. Apa yang terdapat dalam surat Al-A’la? Mengapa orang dianjurkan membacanya? Mengapa para khatib dan imam membaca surat al-A’la dalam salat Id?
Dia uraikan, Salat ‘Id adalah salat yang memisahkan antara Ramadhan dan sesudah Ramadhan, antara hari-hari latihan kesucian dan mempertahankannya. Ayat pertama surah Al-A’la adalah (artinya): “Sucikan nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” Menurut Jalal, ini perintah untuk menyucikan diri dengan zikir, doa, istighfar, salat dan amal saleh.

Silaturrahim
Nabi bersabda, ”Barangsiapa ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya, maka sambunglah tali silaturrahim.” (Hadis Riwayat Imam Bukhori). Hadits di atas sangat familiar di telinga kaum muslimin di Indonesia dan terjadi beberapa macam penafsiran di kalangan muhaddisin.
Imam Shon’ani dalam kitab Subulussalam memberikan beberapa pandangan, diantaranya bahwa siapapun yang menyambung tali silaturrahim akan diberikan umur panjang oleh Allah SWT dalam arti hakiki, sementara ulama lain berpandangan bahwa yang dimaksud dengan panjang umur di dalam hadits itu adalah keberkahan hidup. Yakni meskipun Allah memberikan umur yang singkat padanya akan tetapi orang lain dapat mengambil kemanfaatan darinya meskipun dirinya sudah lama meninggal.
Silaturrahim juga dapat memperluas rizki, sebab dengan sering bersilaturrahim maka akan terbina jalinan persaudaraan yang kukuh yang akan berimbas pada terbinanya network yang rapi. Dengan sering berkunjung dan berziarah antara sesama muslim diharapkan dapat tercipta kepedulian terhadap nasib saudaranya yang mungkin kurang beruntung.
Momen Lebaran, biasanya dimanfaatkan oleh sebagian kaum muslimin di Indonesia untuk mempererat tali silaturrahim dengan sanak keluarga. Menurut Prof Quraish Shihab, dengan silaturrahim masalah dan beban batin seseorang akan hilang atau minimal berkurang yang imbasnya terhadap kesehatan sangat signifikan, sehingga harapan hidupnya akan lebih panjang. Di samping itu silaturrahim juga dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan kepedulian.
Rasullullah SAW mendefinisikan orang yang bersilaturahim dengan sabda beliau: “Bukanlah bersilaturahim orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tapi yang bersilaturahim adalah yang menyambung apa yang putus” (Hadis Riwayat Bukhari).

Menu Kupat
Tak pernah ketinggalan, saat Idul Fitri tersedia makanan khas berupa menu ketupat atau kupat dengan sayur santan. Ada pula lepet dari bahan ketan. Ini adalah tradisi peninggalan Sunan Bonang, salah satu wali penyebar Islam di Nusantara yang pernah menjadi guru Sunan Kalijaga.
“Kupat” menurut Sunan Bonang adalah akronim dari “ngaku lepat” alias mengaku salah. Ini adalah pernyataan tulus mengakui kesalahan di masa lalu kepada sesama manusia. Maka dilanjutkan dengan memohon maaf sambil bersalaman. Dikemas pula dalam ajang saling mengunjungi maupun halal bi halal. Menurut Sunan Bonang, kita harus berpuasa.
Kupat juga singkatan dari laku sing papat atau empat keadaan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada orang yang berpuasa dengan keikhlasan dan kesungguhan. Yaitu: lebar, lebur, luber, dan labur.
Lebar berarti telah menyelesaikan puasanya dengan melegakan. Lebur berarti terhapus semua dosa yang dilakukan di masa lalu, Luber berarti melimpah ruah pahala amal-amalnya. Dan Labur berarti bersih dirinya dan cerah-bercahaya wajah dan hatinya.
Manusia akan bisa meraih “laku sing papat” jika bisa bersikap dan berperilaku lembut dan santun terhadap sesama umat tetapi sekaligus tegas dan berani melawan ketidakadilan. Masing-masing hati nurani kitalah yang dapat menentukan apakah kita berpuasa untuk meraih “laku sing papat”ataukah hanya sekedar basa-basi agar tercitrakan sebagai orang yang saleh.
Dan Janur, bungkus kupat, mempunyai makna atau simbol sebagai sejatinung nur. Cahaya yang sejati. Kita bisa menjadi labur, bercahaya wajah dan hatinya, karena mendapat limpahan cahaya yang sejati dari Tuhan. Sebagai perwujudan sifat Maha Pengasih dan Penyayang. Menjadikan jiwa merasakan kebahagiaan yang hakiki. Sebuah kebahagiaan yang akan tercapai jika suka berbagi ke sesama manusia. Menjadi insan yang rahmatan lil alamin. Rahmat bagi semesta, memuliakan manusia.

Kembali Fitri
Saat Idul Fitri tiba,  semua orang menyambutnya dengan suka cita. Ibu-ibu menyembelih ayam untuk memberi hadiah atas kemenangan seisi rumah menahlukkan nafsu selama puasa. Anak-anak menyulut mercon dan bersorak sorai sejak malam takbiran. Anak-anak muda saling mengirim makanan kepada kerabatnya. Bapak-bapak membelikan baju baru dan membagikan uang kepada anak-anak, dan seterusnya.
Berikutnya, bersalam-salaman di masjid maupun di jalan. Saling mengungjungi dan bersilaturahim. Sungkem kepada bapak ibu dan handai taulan. Serba damai dan riang. Bahagia nan sentosa.
”Karena kesempatan itu begitu luar biasa, bahkan jadi langka bagi anggota keluarga yang tinggal jauh di kota, maka muncullah fenomena mudik. Halal bi halal menjadi muara dari semua ritus itu,” terang dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang Drs H Anasom MHum.
Tradisi itu dilanjutkan dengan sungkeman. Pertama kepada orang terdekat yang setiap hari berinteraksi. Karena potensi kesalahan terbesar terjadi di sini. Utamanya anak kepada orang tua, kakak dan adik, suami dan istri, dulur serumah, murid dan guru, para tetangga, rekan kerja, teman sekolah/kuliah, dan seterusnya.
Tidak boleh dilupakan, kegembiraan itu ada sebab para leluhur. Bapa biyung yang dulu menurunkan dan mengajarkan berbagai hal tentang agama. Maka setelah bertemu orang-orang terdekat, kaum muslimin mengunjungi makam leluhurnya. Ziarah ke kuburan untuk memanjatkan doa. Berkirim Fatihah untuk kegembiraan para pendahulu yang telah sumare di alam baka.
Terlebih bagi anak yang orang tuanya telah tiada. Tak ada kesempatan meminta maaf  dan membalas kebaikan ayah bunda kecuali dengan menjadi anak soleh. Agar pahalanya mengalir sebagai amal jariyah hingga yaumil qiyamah. Allahu akbar, Allhu akbar, Allahu akbar. Walillahil hamdu. ichwan

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: