Jepara Raih Adipura 7 Kali Tanpa Terputus

Drs. Hendro Martojo, MM

Bupati Jepara

Jepara, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, berhasil mempertahankan Piala Adipura 7 kali berturut-turut tanpa terputus.  Apa kiat mempertahankan pretasi prestisius itu demikian panjang? Bupati Jepara Drs. H. Hendro Martojo, MM didampingi pejabat teknis terkait membeberkannya kepada Oki Imron Habibie dan Robinson Simarmata dari LIFESTYLE, Kamis 21 Juli 2011 lalu. Berikut penuturannya.

 

Sebenarnya Kota Jepara sudah 8 kali mendapat Piala Adipura. Adipura pertama tahun 1996/1997. Tapi sejak tahun 1997 pemerintah menghentikan pemberian Adipura. Baru tahun 2003 diadakan lagi. Tahun 2004 Jepara mendapat Adipura dan dapat terus sampai tahun 2011. Sehingga sudah 7 kali berturut-turut tanpa terputus.

“           Sebenarnya Piala Adipura hanya sasaran antara saja. Sasaran akhir adalah menumbuhkan budaya hijau dan bersih (green and clean) di tengah masyarakat. Sebagaimana kita tahu, Jepara adalah kota ukir, utama untuk mebel jati. Sehingga interaksi masyarakat dengan orang asing tinggi sekali. Banyak buyers dari berbagai negara datang ke Jepara. Padahal orang asing sangat tidak suka dengan kekumuhan,” jelas Bupati Drs. Hendro Martojo, MM.

Mantan Camat Kedung ini mengakui, tugas terberat pada tahun awal menjabat Bupati tahun 2002 adalah merubah kebiasaan masyarakat yang sering membuang sampah, bahkan membuat WC diatas sungai atau pantai sehingga menimbulkan kekumuhan.

“Seolah sudah menjadi budaya masyarakat menjadikan sungai dan pantai sebagai halaman belakang rumahnya. Dengan demikian mereka bebas membuang apa saja ke sungai atau pantai, termasuk membuat kamar mandi cuci kakus (MCK) di atasnya. Tapi kami berhasil mengajak masyarakat merubah kebiasaan itu sehingga mereka mau menjadikan pantai dan sungai menjadi halaman depan rumahnya. Tentu dibarengi dengan membangun tempat pembuangan sampah (TPS) dalam jumlah memadai,” kata alumni APDN Semarang ini.

Lebih lanjut dijelaskan, di Jepara ada namanya Kali Wiso yang membelah kota. Hanya membersihkan kali Wiso saja butuh waktu sosialisasi 3 tahun. Biaya langsung ke fisik sungai untuk memperbaiki senderan, memperbaharui jembatan menghabiskan dana sekitar Rp 4 milyar.

Kali Wiso memang dijadikan tolok ukur. Karena merupakan kalen atau aliran-aliran pembuangan di kota ini. Bila kali Wiso tidak bersih, semua upaya membersihkan lingkungan akan sia-sia. Contohnya, pembuangan dari Kantor Kabupaten, dan perumahan-perumahan yang ada di Jepara, semua dialirkan ke sungai Wiso. Sekarang sungai yang dulunya sumber kekumuhan sudah menjadi ikon kota.

Penataan zonasi juga dipertegas. Misalnya, jalan tembus H.M Sukri yang harusnya menjadi daerah lampiran sungai tapi oleh masyarakat dijadikan pemukiman kumuh. Sekarang dikembalikan ke fungsi sebenarnya menjadi taman kota.

Jalan-jalan protokol Kota Jepara yang sebelumnya hanya dilindungi pohon palm, kemudian di celah pohon palm ditanami pohon peneduh lain. Sekarang pohon-pohon itu sudah mulai berdahan rindang. “Area hijau di Jepara mencapai 63% dari seluruh lahan, merupakan yang terbaik di Jawa Tengah,” demikian suami dari Hj. Endang Budhiwati.

Ditanya mengenai pengolahan sampah di Jepara, Bupati mengatakan, mekanismenya sudah cukup bagus. Bahkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) kesannya seperti kebun saja, tidak menebar bau seperti umumnya TPA sampah.             Terutama setelah tahun 2008 Pemkab Jepara bekerjasama dengan Yayasan Bank Danamon Peduli dan mendapat bantuan mesin pencacah sampah dan kendaraan Tossa. Mesin pencacah itu ditempatkan di Pasar Tahunan dan Pasar Jepara Satu. Sehingga yang dibuang ke TPA, hanya sampah non organik. Kemudian pupuk organik hasil pencacahan di digunakan oleh Dinas Pertamanan.

Tahun 2010 Pemkab Jepara kembali mendapat bantuan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari CJP (Central Java Power), sebuah perusahaan pembangkit tenaga listrik cukup besar di Jawa Tengah sebesar Rp 700 juta. Dana itu digunakan untuk membangun rumah kompos di TPA dengan 2 (dua) buah mesin pencacah untuk dijadikan pupuk organik. Selain membantu pembelian mesin, CJP masih membantu biaya operasional Rp 128 juta per tahun. Dengan bantuan itu produksi pupuk organik makin banyak sehingga sebagian bisa dijual ke masyarakat dengan harga Rp 500/kg. Jauh lebih murah bila dibandingkan pupuk organik kualitas sama yang beredar di pasaran sekitar Rp 1.000/kg.

Untuk melakukan pengawasan, telah dibentuk tim terpadu. Anggotanya termasuk tim dari kabupaten, kecamatan, hinggga tingkat RT dan para pengelola sampah. Alhamdulillah, tim ini sudah berjalan dengan baik. “Tentu kita selalu adakan evaluasi secara periodik. Sementara limbah lain, seperti limbah kertas bekas dan potongan kayu dari perusahaan mebel juga diolah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Misalnya di desa Demakan, limbah kertas koran bekas diolah menjadi tas. Demikian juga potongan kayu-kayu kecil limbah pabrik mebel di tempat lain mungkin dibuang atau dibakar saja, di Jepara menjadi bernilai tinggi untuk souvenir,” terangnya.

Bupati yakin, budaya bersih sudah tumbuh di masyarakat, terbukti dengan salah satu SD di Jepara, yaitu SD Negeri 4 Panggang mendapat Piala Adiwiyata Mandiri tahun 2010 dari Presiden sebagai sekolah paling bersih. Perlu dicatat, hanya 25 sekolah dari semua tingkatan (SD, SMP, SMA) se Indonesia yang memperoleh penghargaan Adiwiyata.

Kini jajaran Pemkab Jepara sedang membentuk sebuah system yang disebut Adipura Lestari. “Saya dan teman-teman yang sudah banyak ngelakoni berbagi pengalaman kepada teman-teman yang lebih muda. Meminjam istilah kedokteran, kami akan meninggalkan resep. Sehingga meski saya pensiun, teman-teman ini juga pensiun, sudah ada system yang bisa diikuti oleh generasi selanjutnya. Siapa pun kepala daerahnya, siapapun kepala dinasnya, tidak masalah,” kata ayah dari 4 anak ini.

            Diminta menjelaskan sistem dimaksud apakah sudah sampai ke tingkat Perda, alumni Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta ini mengatakan, belum sampai membuat Perda. “Kami sedang meminta masukan dari berbagai elemen masyarakat lewat seminar-seminar. Apakah perlu dibuat Perda atau Perbup atau cukup dengan pedoman saja. Ada pemikiran, kalau dibuat Perda, terlalu kaku. Padahal perubahan zaman sangat cepat. Nanti kalau mau merubah, harus membuat Perda baru,” ujarnya mengakhiri

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: