Karenanya, peran Lemhanas sebagai ‘Kawah Candradimuka’ bagi para kader pemimpin masa kini dan masa depan bangsa dalam memupuk rasa nasionalisme dan menjaga keutuhan NKRI, memang sangat krusial.
Sebagaimana dipaparkan Gubernur Lemhanas RI Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji DEA kepada wartawan LIFESTYLE Adi Kusnadi baru-baru ini. Dalam kesempatan tersebut Gubernur Lemhannas menjelaskan, bahwa Lemhannas RI, sesuai tugas pokok dan fungsinya merupakan tempat penyemaian kader-kader pemimpin nasional, untuk mengawal proses demokratisasi dan menjaga keutuhan NKRI, melalui pendidikan menyiapkan kader-kader pemimpin nasional / negarawan, membuat kajian strategis dan melaksanakan pemantapan nilai – nilai kebangsaan bagi seluruh komponen bangsa di pusat maupun di daerah.
Melalui ketiga kegiatan tersebut, Lemhannas RI diharapkan mampu mengemban amanat pendiri bangsa, yaitu untuk mewujudkan ketahanan nasional, baik dalam Trigatra: Demografi, Geografi dan Sumber Kekayaan Alam maupun Pancagatra, yang terdiri dari lima gatra ; Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Pertahanan dan Keamanan. Kelima gatra sosial tersebut mengandung unsur-unsur yang bersifat dinamis. Tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia selalu ditujukan pada kelima gatra sosial tersebut. Oleh karena itu penanggulangannya adalah dengan upaya meningkatkan ketahanan dalam gatra sosial tersebut secara utuh menyeluruh dan terpadu. Sebab kelemahan di salah satu gatra dapat mengakibatkan kelemahan di gatra lain dan mempengaruhi kondisi secara keseluruhan.
Konsep pertahanan nirmiliter
Lulusan KRA 37 Lemhannas dengan predikat Andalan ini dikenal karena giat menyusun konsep pertahanan nirmiliter. Pun juga dengan kajian-kajian strategis pertahanan. Lulusan S3 Geoteknik Ecole Centrale Paris dengan predikat Treshonorable tahun 1986 ini menjelaskan, ”Konsep pertahanan yang berbasis nirmiliter artinya pertahanan secara nonfisik yang tidak menggunakan senjata seperti lapis pertahanan militer, tetapi pemberdayaan faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi melalui profesi, pengetahuan dan keahlian, serta kecerdasan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Sehingga dalam menyemai kader-kader pimpinan nasional, mengerti bahwa ancaman paling besar adalah ancaman dari nirmiliter, walaupun kita juga bersiap-siap terhadap ancaman militer. Tetapi ancaman nirmiliter lebih besar, mengingat yang diserang adalah pola pikir/cara pandang bangsa Indonesia.“
Itu sebabnya, ia menambahkan, kurikulum terbanyak dan menjadi unggulan di Lemhanas adalah kurikulum pertahanan nirmiliter. Misalnya database mengenai kemiskinan, infrastruktur, aspek kebudayaan dan konflik antara masyarakat yang disebabkan oleh cara berpikir yang berbeda.
Bahkan, menurut hasil penelitian Lemhannas, korupsi juga termasuk di dalamnya, kemiskinan, termasuk kemiskinan moral dan lain sebagainya. Persaingan global dalam bidang ekonomi yang bisa mempengaruhi sumber daya nasional kita. Juga tentang isu SARA yang belakangan kembali mengemuka, pria kelahiran Yogyakarta tahun 1954 ini mengatakan, itu juga diajarkan sebagai mata kuliah seperti penanganan konflik bermuatan SARA , radikalisme, deradikalisasi, yang diberikan para ahli sosial, antropolog dan dari BNPT.
“Disini sistem pembelajarannya bukan one way. Sebab yang diajar itu kan orang-orang level satu dan sudah pinter-pinter. Ada Kapolda, Pangdam dan lain sebagainya. Jadi lebih mengutamakan pelajaran untuk sharing dan diskusi, bukan seperti mengajar anak-anak SMA atau mahasiswa.”
Perbandingannya pun lebih banyak praktik di lapangan. Misalnya, ada suatu kejadian, siapa orang-orang yang harus segera dihubungi? ”Walaupun diberi petunjuk teoritis, karena tataran teoritis ini juga sangat penting, tetapi lebih banyak pada praktiknya,“ kata Dosen Teladan I Tingkat Nasional tahun 1994 ketika menjadi dosen di UI ini.
Selain praktik, Lemhannas juga mengadakan kunjungan ke daerah-daerah yang disebut Studi Strategi Dalam Negeri. Peserta yang diterjunkan sekitar 20 orang beserta tenaga ahli dan profesional. Mereka diterjunkan untuk mengamati kondisi wilayah di daerah sekitarnya dan apa yang sedang terjadi, sehingga para peserta bisa mengolah kasus bersama dengan pengajar, pihak Pemda serta aparat keamanan daerah setempat.
Ketiga, di Lemhannas ini juga ada studi kajian. Mereka diterjunkan untuk mencatat/mengcover apa yang terjadi di lapangan dan rekomendasinya tertutup, kemudian disampaikan ke Sekneg dan pada Presiden untuk diketahui.
”Yang ke empat, pemantapan nilai-nilai kebangsaan. Misalnya mengundang dosen, mengundang pengusaha, dll, mereka berdialog atau diskusi tentang misalnya ini lho ada isu begini, maka harus hati-hati. Katanya ada konflik, dan konon juga ada sara. Tetapi menurut kami, hal itu tidak ada dan tidak akan terjadi. Semua kan perlu ketenangan, dan ini tidak akan disampaikan di media. Karena issue itu ibaratnya orang mukul, kalau ditanggapi, kita kepukul. Maka kalau kita tenang dalam menanggapi, issue itu akan lewat saja. Dan itu memang merupakan bagian penting dalam melawan isu,“ paparnya.
Syarat jadi peserta
Ihwal syarat menjadi peserta pendidikan di Lemhannas, Prof Dr Ir Budi Susilo Soepandji DEA yang pernah mendapat penghargaan Bintang Yudha Dharma Nararya tahun 2010, mengatakan, selain syarat fisik dan batasan umur, juga harus ada persetujuan dari pejabat tertinggi institusi terkait. Misalnya, jika dari TNI/Polri harus ada persetujuan dari Panglima TNI maupun Polri, dan benar-benar orang-orang pilihan.
“Kalau dari sipil, juga sudah direkomendasikan oleh Kementrian atau perguruan tinggi atau lembaga, misal dari Lapan, direkomendasi oleh Kepala Lapan, dari Batan ya Kepala Batan. Tapi kalau dia Dirjen Pertahanan juga harus diusulkan oleh Menteri Pertahanan atau Sekjennya, kalau dia Dekan ya harus ada usulan dari rektor dan syukur-syukur disetujui Dirjen Dikti, kalau Kopertis disetuji oleh Dirjen Dikti atau menterinya.“
Kalau dari Partai Politik, yang sekarang mulai berjubel, harus diusulkan dan disetujui oleh Sekjen atau Ketua Partai Politik. Tapi jika yang ikut adalah Ketua atau Sekjen, dan Ketua Departemen, bisa masuk ke kursus angkatan singkat selama lima setengah bulan, (yang reguler sampai sembilan bulan).
Ada juga yang disebut model Forum Konsolidasi (Forkon), model ini diikuti oleh Bupati/Walikota atau Ketua DPRD, waktunya hanya satu setengah bulan. Juga kursus satu minggu, plus satu hari dengan outbond, untuk KNPI dan Ormas, termasuk juga sekarang ini dosen-dosen untuk wawasan kebangsaan dan Training of Trainers (TOT). Awak media dan pengusaha rencananya juga akan diagendakan selanjutnya dengan waktu seminggu sampai dua minggu.
“Namun ada wacana, bagaimana kalau yang reguler dipadatkan waktunya karena masih ada Sesko TNI, University Network, Universitas Pertahanan, dan kegiatan lain. Tapi itu semua masih dalam tahap diskusi.“
NKRI itu Utuh
Langkah apa saja yang dilakukan Lemhannas untuk bisa mempertahankan NKRI?
Pria yang pernah menjadi Dirjen Pothan tahun 2005-2011 ini tegas menjawab, ”Lemhannas ini kan tempat pendidikan kajian dan pemantapan nilai-nilai, makanya tidak terlepas dari point itu. Jadi pendidikannya ya antara lain tentang bagaimana mempertahankan NKRI. Dan kalau itu kajian, selalu berujung pada pola pikir NKRI itu utuh.“
Memang, sejak awal berdirinya pada tahun 1965 hingga saat ini, Lemhannas RI merupakan lembaga yang konsisten mengabdikan diri pada tujuan dan cita-cita bangsa, hal ini tidak terlepas dari komitmen dan urgensi nasional untuk menjaga keutuhan hidup bangsa dan negara dalam bingkai NKRI dalam ketatnya persaingan global dari waktu kewaktu. Lemhannas senantiasa berupaya secara maksimal memperkokoh empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, dan memasukkannya dalam kurikulum pendidikan di Lemhannas sejak tahun 1965 sampai sekarang.
”Ketika banyak tamu asing berpendapat NKRI sampai sekarang masih utuh, salah satunya adalah berkat dalam pengkaderan pimpinan nasional dari Lemhannas. Kontribusi itu tidak sekedar orang bawa senjata. Tetapi pimpinan-pimpinan itu dikader, sehingga kalau menjadi Panglima TNI, Panglima Kodam, Armabar, Armatim atau Kasal, Kasad, Kasau atau Pimpinan Polri sudah tahu bahwa kita harus bersatu agar NKRI itu utuh. Dan pengkaderannya disini. Jadi bukan pola matematik, tetapi pola pengakaderan tentang nilai-nilai positif, nilai-nilai nasionalisme dan cinta tanah air,” jelas pria yang menjadi Pembina Orkes Simphoni UI Mahawaditra dari tahun 1994 sampai sekarang.
Menjawab pertanyaan untuk Lemhanas kedepannya, ia berharap Lemhannas nantinya tetap sebagai pengawal NKRI, selain mempunyai doktrin yang sudah kuat mengenai konsepsional terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, Lemhannas juga semakin membuka diri untuk membina dan mengembangkan hubungan kerjasama dengan berbagai instansi terkait di dalam dan luar negeri, baik di negara Asean, Asia dan secara global.
“Sehingga wawasan atau pemikiran apa yang ada di Lemhannas ini bukan saja merupakan pemikiran-pemikiran yang ’laku’ untuk persatuan nasional tetapi juga ’laku’ dijual dalam konsep ketahanan regional dan ketahanan global, sebab jangan sampai dikatakan baik hanya untuk dirinya sendiri.“
Oleh karena itu Lemhanas juga membuka peserta pendidikan dari negara sahabat.
Ia juga berharap, pemantapan nilai-nilai khususnya bagi para awak media, politikus, pengusaha, Ormas akan semakin banyak, sehingga walaupun dinamika ekonomi sekarang ini sedang maju, meski ada isu SARA, politik, demokrasi, semua tetap dalam semangat persatuan di dalam kader yang dibuat Lemhannas.
Dan kajian-kajian di dalamnya harus bermanfaat buat kementerian-kementerian yang menjalankan tugas untuk menjaga persatuan nasional. Itu lah point pentingnya.
Pada pemimpin-pemimpin yang lahir dari sinilah ia menitipkan pesan, dalam percaturan global hendaknya disadari bahwa Indonesia menjadi tempat perebutan ekonomi internasional karena kaya sumber daya alam, kulturnya dan khususnya orangnya yang dikenal baik, dan mudah beradaptasi.
“Harapan saya, posisi strategis Indonesia dan keheterogenannya harus dijaga, jangan sampai mengganggu atau mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati, karena iklim kultur dari bangsa Indonesia ini sangat heterogen.“
Adik dari mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji ini lantas mencontohkan, Pemilukada DKI. “Itu perlu dijadikan contoh, masyarakat semakin dewasa, semakin mengerti, tidak terseret oleh issue yang tidak-tidak, tidak menuruti orang lain tetapi hati nuraninya.”
Seharusnya esensi Bhinneka Tunggal Ika untuk para pemimpin ini memang harus mendarah daging, bukan hanya berhenti di kepala. Adi
Luar Biasa