Jangan Kriminalisasi Jasa Konstruksi

PemFotobangunan di Indonesia terus bergerak maju. Tengok saja prasarana jalan yang kian mulus. Gedung pencakar langit pun tumbuh dimana-mana. Tentu pengusaha jasa konstruksi punya andil besar dalam setiap denyut pembangunan. Namun mengapa pemborong seolah-olah dituduh menjadi pembohong? Untuk mengetahui apa yang sedang dia-lami perusahaan jasa konstruksi saat ini, Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat (BPP) GAPENSI, Ir. H. Soeharsojo menuturkan panjang lebar dalam sebuah wawancara eksklusif dengan LIFESTYLE belum lama ini. Sebagaimana diketahui, GAPENSI merupakan asosiasi pengusaha konstruksi tertua dan terbesar di Indonesia yang anggotanya mencapai 60.000 perusahaan kontraktor, tersebar di 33 Provinsi dan 486 kabupa-ten/kota seluruh Indonesia. Berikut petikan wawancara selengkapnya.
Bisa diceritakan
sejarah singkat GAPENSI ?
GAPENSI lahir ketika bangsa Indonesia baru saja berhasil menggenggam kemerdekaan. Saat itu dunia konstruksi di tanah air masih didominasi kontraktor Belanda, diantaranya HBM (hollansche beton maatchappij). Sementara kontraktor nasional yang disebut aanemers belum memiliki wadah organisasi berskala nasional.
Maka Menteri Pekerjaan Umum ketika itu, Ir. Pangeran Noor, mengundang tiga organisasi pemborong daerah, yakni IPEMBI (Ikatan Pemborong Indonesia) dari Jakarta, IABI (Ikatan Ahli Bangunan Indonesia) dari Surabaya dan GPI (Gabungan Pemborong Indonesia) dari Ban -dung melaksanakan Kongres Pemborong Seluruh Indonesia (KPSI) tanggal 5 – 9 Januari 1959 di Bath  Hotel, Tretes, Jawa Timur, dihadiri sekitar 160 aanemers dari seluruh Indonesia. Salah satu hasil kongres menetapkan tanggal 8 Januari 1959 sebagai hari berdirinya Gabungan Pelaksana Nasional Seluruh Indonesia. Namanya kemudian disederhanakan menjadi Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia dan disingkat GAPENSI.
Sejak awal, aanemers menjadi profesi yang sangat terhormat. Selalu mengutamakan idealisme dan profesionalisme dalam setiap pekerjaan. Ada rasa nasionalisme yang kuat, bila berhasil membuka isolasi atau memperpendek jarak suatu daerah sehingga mampu meningkatkan derajat hidup masyarakat.
Apakah pengutamaan idealisme itu masih terjaga hingga kini?
Kebetulan periode 2008 – sekarang  saya diamanahi oleh teman-teman menjadi Ketua Umum BPP GAPENSI. Selaku Ketua Umum (Ketum), saya selalu berpesan kepada seluruh anggota agar tetap menjaga idealisme, martabat dan profesionalisme sebagaimana diwariskan pendiri dan pendahulu GAPENSI.
Nyatanya beberapa pengusaha konstruksi tersandung hukum  karena dianggap melanggar profesionalisme. Tanggapan Anda?
Ketika saya masih mahasiswa tekhnik arsitektur, ada beberapa kontraktor besar dan tersohor di Surabaya, Medan, Makassar, Semarang serta kota lain. Tapi nama me-reka tidak terdengar lagi sekarang. Setelah mencari tahu, ternyata mereka telah beralih profesi menjadi pengusaha perkebunan, SPBU, pertambangan, dll. Lalu saya tanya, mengapa harus beralih profesi? Jawaban mereka sungguh mengejutkan; “Jasa kons-truksi saat ini tidak seterhormat dulu lagi. Sekarang pengusaha konstruksi telah dikriminalisasi.”
Ada penjelasan lanjut dari mereka terkait kriminalisasi dimaksud?
Memang sebagian besar, (tidak seluruhnya), anggota kami merasa dikriminalisasi.Dari dulu, tali pengikat kontraktor dengan pemberi pekerjaan adalah Kontrak Kerja. Misalnya Kontraktor A mengerjakan proyek gedung milik Dinas Pekerjaan Umum atau Pemkot/Pemkab dengan ukuran 10 m3 x 10 m3 = 100 m3. Ternyata dalam pelaksanaan, volume pekerjaan hanya 98m3, atau malah menjadi 102 m3. Dalam kontrak sudah diatur klausul, bila terjadi kekurangan volume pekerjaan, maka kontraktor harus melengkapi. Sebaliknya, kalau terjadi kelebihan volume, pihak pemberi pekerjaan harus mengembalikan kepada kontraktor dalam bentuk uang atau memberi pekerjaan tambahan. Bila tetap ada pihak yang dianggap wanprestasi, maka domain penyelesaian hukumnya adalah perdata. Tidak bisa serta merta ada pihak lain, termasuk aparat penegak hukum ikut campur tangan. Kecua-     li bila ditemukan adanya kecurangan atau main mata kedua belah pihak.
YANG MENENTUKAN ADA-TIDAKNYA KERUGIAN NEGARA TERKAIT KASUS KORUPSI ADALAH BPK. BUKANKAH LEMBAGA INI CUKUP INDEPENDEN?
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memang satu-satunya lembaga independen pemeriksa eksternal keuangan negara. Kita tidak pungkiri, ada beberapa temuan BPK yang mendapatkan apresiasi masyarakat. Tapi di sisi lain, masih dijumpai hasil  pemeriksaan dan investigatif  BPK tidak menjadi referensi institusi lain.
Dalam melaksanakan pemeriksaan, selama ini BPK terlalu berpatokan pada pendekatan legalistik tanpa memperhatikan kaedah hukum yang berlaku. Menangani persoalan di perusahaan jasa konstruksi, seyogyanya BPK mempedomani kaedah-kaedah umum yang berlaku di bidang jasa konstruksi. Bila mengabaikan kaedah itu, pasti menimbulkan perbedaan penafsiran termasuk dalam penentuan alat bukti maupun cara perhitungan kerugian negara. Belum lagi, tidak jelasnya domain kewenangan antara BPK dengan BPKP.  Contoh kasus terbaru adalah proyek JLS (Jalan Lingkar Salatiga) kota Salatiga – Jawa Tengah. Dimana keputusan BPK dapat dikalahkan oleh BPKP. Kenyataan seperti ini tentu sangat membingungkan.
Apakah keluhan kriminalisasi itu sudah pernah disampaikan kepada pihak terkait?
Sudah. Bahkan kami pernah mengadakan seminar dengan menghadirkan pakar hukum dan praktisi hukum. Mereka pun mengakui bahwa perkara hutang piutang, domainnya perdata dan tidak bisa langsung dipidanakan. Tapi sekarang serba bias. Pada umumnya permasalahan menyangkut kontraktor langsung dipidanakan. Hanya sedikit saja yang taat lewat hukum perdata. Banyak yang tidak kuat diperlakukan demikian, sehingga mereka beralih ke bisnis lain.
Nyatanya setiap tender proyek dibuka, kontraktor peserta lelang selalu bejibun?
Memang dari segi jumlah, pertumbuhan pengusaha konstruksi begitu pesat. Sekarang tercatat sekitar 168.000 perusahaan kontraktor di Indonesia. Masalahnya, 90% perusahaan kontraktor adalah gred kecil kelas 1, 2, 3, 4 dengan nilai kontrak di bawah Rp 5 milyar. Sementara kelas menengah dengan gred 5, 6 sekitar 9%. Kelompok ini bisa menggarap proyek dengan nilai Rp 100 milyar – Rp 200 milyar. Sedangkan kelas besar dan super besar 1% dengan nilai proyek Rp 300 milyar atau lebih. Bila proporsi jumlah perusahaan digambarkan piramida, memang tampak kokoh.
Tahun 2012 nilai jasa kontruksi yang mengguna-kan APBN/APBD, BUMN/BUMD dan swasta mencapai Rp 380 triliun. Tahun 2013 ini diperkirakan mencapai Rp 421 triliun. Tetapi proyek ratus juta hingga Rp 5 milyar hanya berkisar 10%. Proyek bernilai Rp 5 milyar – Rp 10 milyar sekitar 15%. Sisanya, 75% anggaran proyek diatas Rp 10 milyar.
Perlu disadari, pembangunan jembatan bentang 5 meter, 10 meter, 20 meter dengan nominal Rp 50 juta, Rp 100 juta, Rp 200 juta sudah selesai dikerjakan lewat program Inpres puluhan tahun silam. Jembatan yang harus dibangun sekarang adalah bentang 600 meter, 700 meter dan 900 meter seperti jembatan Kayang di Kalimantan, jembatan Merah-Putih di Ambon dan beberapa jembatan di Sumatera dengan nilai kontrak Rp 600 milyar, Rp 700 milyar. Artinya, kontraktor yang bisa menggarap hanya gred 5,6,7.
Bila dilihat dari penggunaan anggaran, tampaklah piramida terbalik yang sangat memprihatinkan. Kontraktor super besar yang hanya 1% dan perusahaan besar 4%, menikmati 75%-80% anggaran. Sisanya, 95% pengusaha kecil harus berebut kue 20%-25% anggaran. Sehingga tidak terelakkan lagi, pasti terjadi persaingan sangat ketat di tingkat bawah. Untuk mendapat proyek, apa-pun sering dilakukan termasuk mengajak Pimpro makan siang.
Apakah di era e-tender pengaturan proyek ‘ala makan siang’ masih memungkinkan?
Memang sekarang sulit mengatur pemena-ngan tender karena pemberi jasa dan penerima jasa dilarang saling bertemu. Saking takutnya Pimpro bertemu kontraktor, sekarang ada aturan yang memperbolehkan peniadaan penjelasan pekerjaan (aanwijzing). Padahal aanwijzing sangat perlu. Karena membangun sesuatu dari nol, bisa berbeda pemahaman bila hanya berpatokan pada gambar. Saat aanwijzing inilah Pimpro menjelaskan detail pekerjaan sehingga tidak terjadi perdebatan saat pelaksanaan apalagi setelah pekerjaan rampung.
Meski tidak terjadi lagi pengaturan proyek cara lama, tapi kerasnya persaingan di tingkat bawah dengan mudah bisa terbaca dari penawaran yang sangat rendah dan tidak masuk akal. Masak proyek bisa dimenangkan penawaran 62% dari HPS (Hasil Penghitungan Sendiri) oleh pemberi pekerjaan.
Kalau tidak masuk akal, mengapa dimenangkan?
Pertanyaan seperti itu memang sering muncul. Apakah para perencana begitu goblok sehingga dalam menyusun anggaran biaya proyek bisa meleset demikian jauh? Jawabnya pasti tidak. Para perencana proyek pemerintah adalah orang-orang pilihan. Mereka cerdas dan cermat menghitung setiap detail proyek. Lalu mengapa penawar 62% bisa menang? Jawaban para Pimpro, kalau tidak diberikan kepada penawaran terendah, akan muncul tuduhan kalau pimpro telah berkolaborasi dengan pengusaha kons-truksi untuk mencuri.
Bulan lalu GAPENSI Kota Surabaya mengadakan survey tentang pemenang tender proyek tahun 2012. Hasilnya, dari 256 proyek pemerintah kota Surabaya, ternyata 66% dimenangkan penawar dibawah 80%. Datanya cukup lengkap. Saya sudah minta agar survey dipertajam. Mi-                                  salnya, dari penawar 60% kualitas pekerjaan seperti apa, yang mengerjakan dengan penawaran 70% hasilnya bagaimana, dan yang menawar 80% seperti apa hasilnya. Hal ini akan kita jadikan cermin. Apalagi, 2 kontraktor dari 66% pemenang tender dengan penawaran rendah itu adalah anggota GAPENSI.
Sedang diinvestigasi kenapa anggota kami tersebut berani menawar serendah itu. Bagaimana dia mempertanggungjawabkan pekerjaan. Nanti mutu pekerjaan akan kita lihat setelah selesai. Kalau memang bisa mengerjakan sesuai spek yang ditentukan, GAPENSI harus yang terdepan memberi reward. Tapi kalau terbukti mutu pekerjaan tidak sesuai spek, GAPENSI tidak segan-segan memberi punishment.
Ada rencana membuat survey nasional?
Bisa saja kedepan dilakukan survey nasional. Tapi temuan teman-teman GAPENSI Kota Surabaya, murni inisiatif mereka sendiri. Hasil survey ini cukup memberi gambaran bagi kami. Sehingga sebelum pihak lain mengoreksi, kita sudah bisa membuat potret diri sendiri.
Belum adakah regulasi yang membatasi penawaran minimal sebuah proyek?
Belum ada dan saya kira sudah sangat mendesak. Dengan selisih 20% dari HPS, mungkin saja kontraktor mampu melakukan penghematan disana-sini sehingga kualitas konstruksi tetap sesuai perencanaan. Tapi dengan biaya 65% dari HPS mustahil mewujudkan konstruksi 100% sesuai rencana. Karena pekerjaan proyek menggunakan eksakta, ilmu pasti.Membangun gedung ukuran 10m x 10m, kontraktor manapun yang mengerjakan, pasti volumenya 100 m3. Spek-nya juga sama. Tidak mungkin kontraktor A diwajibkan melakukan komposisi campuran semen dan pasir 4 : 1 sementara kontraktor B diijinkan melakukan campuran 7 : 1. Katakan kontraktor A punya kenalan levelansir sehingga memperoleh po-tongan harga semen, batu dan besi. Tapi tidak mungkin selisih harganya terpaut jauh. Pimpro sudah punya logika demikian. Hanya saja logika itu tidak bisa dijalankan karena takut dengan berbagai tuduhan negatif.
Pengaturan proyek dalam e-tender sudah benar-benar tertutup ?
Tetap tidak ada yang bisa menjamin. Siapapun sulit melarang seseorang bertemu orang lain. Mi-salnya ketemuan di mall atau acara keramaian. Kami baru saja mendapat keluhan tentang trik pengaturan proyek gaya baru. Misalnya, sebelum lelang dibuka 2-3 bulan ke depan, Pimpro bertemu kontraktor X. Sang Pimpro kemudian menjelaskan detail proyek. Lalu disusunlah trik dengan menetapkan spesifikasi alat dan tim ahli ‘langka’ yang harus dimiliki. Semua diurus jauh hari sebelum lelang diumumkan. Begitu syarat ‘langka’ telah dipenuhi oleh kontraktor X, barulah lelang dibuka secara online. Memang kelihatan seperti fair. Tapi sebetulnya an-fair karena tidak mungkin perusahaan lain bisa melengkapi persayaratan yang diminta dalam waktu singkat.
Kabarnya ratusan kontraktor asing mulai MASUK Indonesia. Benarkah?
Betul. Sebenarnya inilah salah satu tugas terpenting pemerintah. Kalau jasa konstruksi nasio-nal tidak terbangun secara sehat, nanti pada tahun 2015 kita akan menyesal saat pelaksanaan pasar bebas ASEAN Free Trade Area (AFTA). Tren jumlah kontraktor asing masuk ke tanah air terus meningkat. Tahun 2010 baru sekitar 225 perusahaan asing masuk Indonesia. Tahun 2011 menjadi 240 perusahaan. Tahun 2013 sudah 256 kontraktor, terutama perusahaan konstruksi dari 3 negara yakni Jepang, Korea Selatan dan China.
Bukankah AFTA juga membuka peluang bagi kontraktor kita merambah bisnis di mancanegara?
Tidak sesederhana itu. Katakanlah mau masuk ke Jepang, Korea dan China karena kontraktor me-reka telah menggarap ratusan proyek di Indonesia. Tapi negara mereka menetapkan proteksi tertentu sehingga sulit kontraktor asing masuk kesana. Pertanyaannya, kalau mereka bisa membuat regulasi untuk melindungi pengusahanya, mengapa kita tidak melakuka hal yang sama? Memang memproteksi dalam artian melarang kontraktor asing masuk Indonesia, sudah tidak mungkin. Yang bisa kita lakukan adalah mewajibkan kontraktor asing menjalin kerjasama dengan kontraktor lokal.
Pemborong di daerah sering ‘ribut’ terkait pijakan hukum peserta lelang proyek Pemda. Adakah yang salah?
Memang aturan jasa konstruksi yang ada sekarang sudah tumpang tindih (over lapping). Misalnya ada UU No. 18 tahun 1999 yang mengatur pekerjaan umum, Keppres 80 Tahun 2003 mengatur pengadaan barang dan jasa. Kemudian ada Lembaga Pengemba-ngan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) untuk tingkat nasional dan LPJKP untuk Provinsi dan LPJKK untuk kabupaten/kota. Tadinya fungsi LPJK adalah untuk meningkatkan kualitas pekerjaan konstruksi. Tapi sekarang LPJK ikut mengatur proyek dan jasa peme-rintah. Padahal pekerjaan konstruksi yang paling banyak adalah proyek pemerintah. Proyek swasta relatif kecil dan tidak ribet.
Konon ada claim, yang bisa menggarap proyek pemerintah hanya anggota organisasi kontsruksi tertentu. Betulkah demikian?
Sepanjang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan, tentu semua perusahaan boleh ikut tender. Memang dalam SK Menteri PU Nomor 258/KPTS/M/2011, telah ditetapkan 12 asosiasi yang lolos seleksi menjadi unsur lembaga. Diantaranya 4 asosiasi kontraktor umum yakni GAPENSI, Asosisi Pengusaha Konstruksi Indonesia (ASPEKINDO), Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (GAPEKSINDO), dan Ikatan Nasional Konsultan  Indonesia (INKINDO). Sementara 8 asosiasi profesi diantaranya Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Persatuan Insyinyur Indonesia (PII), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), dll.
Sebelum SK Menteri PU ini ditetapkan, ada sekitar 50 asosiasi pengusaha kontraktor. Kemudian di-verifikasi dengan berbagai persyaratan dan hasilnya muncullah 12 asosiasi itu. Logika kita, asosiasi yang tidak lolos verifikasi harus legowo menggabungkan diri pada 12 asosiasi yang ada. Tapi kenyataanya tidak demikian. Mereka memaksakan diri harus diakui. Lebih aneh lagi, ada lembaga  yang  mau mengakui. Maka sekarang muncullah istilah; asosiasi terdaftar. Semula jumlahnya 23 asosiasi. Hanya dalam waktu singkat sudah bertambah menjadi 26 asosiasi. Penga-kuan ini dikeluarkan oleh lembaga LPJKN.
Dengan pengakuan ini, maraklah protes dari anggota 12 asosiasi hasil penyaringan. Karena kita harus validasi keanggotaan mulai dari verifikasi awal hingga mendapat rekomendasi dari LPJKN. Tapi kontraktor diluar 12 asosiasi, bisa langsung ke LPJKN sehingga proses mendapat rekomendasi justru lebih cepat. Ibarat sopir angkutan kota, yang taat aturan dipaksa harus rela antri di tengah kemacetan, sementara yang tidak mau ikut aturan justru mendapat fasilitas jalan toll bebas hambatan.
Lagi-lagi Anda ‘menggugat’ ketidak ketegasan regulator?
Begini. Saya berpendapat korupsi memang sa-ngat berbahaya bagi bangsa. Tapi lebih berbahaya membuat kebijakan yang salah. Kalau saya korupsi, yang menanggung dosa dan konsekwensi hukumnya hanya saya sendiri. Yang dirugikan pun hanya pihak tempat saya korupsi. Tapi kebijakan yang salah bisa menyusahkan orang yang tidak berdosa. Seperti kebijakan pemerintah sekarang. Semua kontraktor yang jumlahnya sekitar 168.000 perusahaan dan 60.000 diantaranya anggota GAPENSI ikut menanggung kesusahan yang bukan akibat kesalahan dirinya.
Ibarat sekolah, tadinya ada 50-an sekolah. Setelah diakreditasi, maka oleh instansi terkait memutuskan hanya 12 sekolah yang berhak melaksanakan ke-giatan belajar mengajar (KBM). Sekolah yang tidak lolos akreditasi dilarang menyelenggarakan proses KBM. Kalau ada yang tetap nekat melakukan KBM, harus ditindak. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Sekolah yang harusnya tidak boleh menyelenggarakan KBM justru mendapat kemudahan mengeluar-kan ijazah. Sehingga murid sekolah terakreditasi protes kepada guru kelas dan guru kelas protes kepada Kepala Sekolah. Itulah yang kami rasakan sekarang. Anggota protes kepada pengurus DPC dan DPD GAPENSI. Pengurus DPC dan DPD kemudian mengeluh kepada saya selaku Ketua Umum Nasional.
Harapan Anda ke depan?
Wibawa aturan harus dijaga dan tidak bisa dirubah sesuka hati. Menjaga wibawa aturan memang dibutuhkan keberanian dan harus siap tidak populer.
Termasuk harapan agar tidak lagi mengkriminalisasi pengusaha konstruksi?
Tentu hal itu menjadi harapan terpenting. Biar bagaimanapun sejak awal kemerdekaan pengusaha konstruksi nasional telah ikut mengisi sosio-ekonomi pembangunan bangsa ini. Tapi sekarang teman-teman di daerah banyak yang mengeluh, belum apa-apa sudah dicurigai sebagai pencuri, pemborong selalu dicurigai sebagai pembohong. Yang mengeluh bukan hanya ratusan, tapi ribuan.
Mari kita bangun perusahaan konstruksi sehingga menjadi kebanggaan bangsa. Syukur-syukur menjadi kebanggan dunia. Saya kira mencegah KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) lebih pada mentalitas daripada sekedar aturan ketat. Tindakan tidak bermartabat harus kita hindari. Tentu tidak saja oleh Pimpro tapi juga oleh pengusaha kontraktor.

Pewawancara     : Robinson Simarmata
Tempat wawancara : Graha BPP Gapensi
Pasar Minggu, Jakarta Selatan

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: