Belakangan Indonesia kerap dilanda kerusuhan berbau SARA. Hal ini akibat kian hilangnya jatidiri bangsa yang menjunjung tinggi toleransi dan mengedepankan kerukunan. Akibatnya kelompok-kelompok ekstrem dan radikal banyak bermunculan dan membuat kerusuhan.
Hal ini menyulut keprihatinan para tokoh bangsa, termasuk Prof. Dr. KH Said Agil Sirodj, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ketika berbincang dengan LIFESTYLE di Kantor Pusat Balqis Corporation, Trenggalek (sekaligus kantor perwakilan LIFESTYLE eks karesidenan Kediri), pria asal Cirebon ini mengatakan: “NU (Nahdlatul Ulama) menentang keras segala macam tindak radikalisme.” Karena sesuai dengan jatidirinya, NU mengajarkan toleransi, saling menghormati, ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah watoniah (persaudaraan sesama warga negara). Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana pandangan bapak mengenai maraknya korupsi di Indonesia?
Korupsi di negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah fenomena yang wajar. Bukan berarti dibenarkan, tapi di berbagai tempat di dunia ini juga terjadi hal yang sama. Tinggal bagaimana langkah-langkah pemangku kebijakan memiliki komitmen untuk memberantasnya.
Kalau Intoleransi antar umat beragama?
Sekarang memang sering terjadi gesekan-gesekan antar umat beragama, ataupun internal umat beragama sendiri. Sehingga me-ngakibatkan kerusuhan dan korban jiwa. Sesungguhnya ini tidak mencerminkan budaya bangsa Indonesia. Di Arab atau Timur Te-ngah memang gesekan antar aliran agama sangat jelas, bahkan memunculkan kelompok-kelompok radikal dan ekstrem. Tapi saya rasa budaya itu janganlah dibawa ke Indonesia. NU (Nahdlatul Ulama) menentang keras segala macam tindak radikalisme.
Saya merasa prihatin terhadap kejadian yang berbau SARA ak-hir-akhir ini. Misalnya kasus yang terjadi di Sampang, Madura. Yaitu tindak kekerasan terhadap kelompok Syiah. Padahal dulu aman-aman saja. Mereka dengan penduduk sekitar yang beraliran lain juga saling menghormati.
Kenapa kerusuhan Sampang sampai terjadi?
Ini akibat budaya radikal dibawa-bawa ke sini. Seharusnya kita harus kembali pada jatidiri bangsa Indonesia yang mengutamakan toleransi. Mbah Khamid Pasuruan yang terkenal alim saja tidak pernah mengusik aliran lain. Kita juga tidak pernah mendengar santri beliau menyerang kelompok lain. Tapi mengapa kita sekarang malah anti Syiah nya kelewat batas. Bahwa Sunni bukan Syiah iya. Tapi jangan sampai timbul kebencian yang melanggar Hak Asasi Manusia dan tatanan hidup bernegara. Mengusir orang Syiah dari tanah kelahirannya adalah pelanggaran HAM karena mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara.
Bagaimana cara mencegah agar hal ini tidak terjadi lagi?
Kalau dari NU (Nahdlatul Ulama) ya harus kembali ke jatidiri NU. Paradigma NU mengajarkan agar toleran, saling menghormati, ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah watoniah (persaudaraan sesama warga negara). Kalau ada permasalahan ya diselesaikan secara baik, dimusyawarahkan.
Apakah terjadinya konflik ini bisa dikatakan kegagalan pemerintah?
Secara umum tidak bisa dikatakan demikian. Mungkin kekerasan di Sampang ini akibat ulah oknum tertentu. Di tempat lain, seperti Bandung atau Makassar buktinya tidak sampai terjadi benturan fatal. Dan saya tegaskan sekali lagi bahwa relokasi warga Syiah dari tanah kelahirannya melanggar HAM. Kita harus usahakan langkah-langkah yang lebih manusiawi lagi.
Bagaimana membangun keberagaman di Indonesia?
Pada muktamar tahun 1936, NU telah berkomitmen untuk turut membangun Negara Darus Salam, bukan Darul Islam. Negara Indonesia tidak berdasarkan agama tertentu, bukan Islam, Katolik, Kristen, Budha atau Hindu. Bukan negara Jawa, Dayak, Bugis, Batak atau Sunda. Artinya seluruh warga negara bersaudara walaupun berbeda suku, agama dan ras. Semua berkedudukan sama di depan hukum. Yang salah harus dihukum,yang benar harus dilindungi. Mayoritas tak boleh menindas minoritas. Begitu pula sebaliknya, minoritas pun harus menghormati mayoritas.
Di masa kepemimpinan Bapak, NU menggulirkan 4 program unggulan, salah satunya memajukan sektor ekonomi. Tapi kalau dilihat warga NU masih kalah bersaing dengan yang lain?
Program itu kan baru saja digulirkan. Tentu hasilnya pun belum kelihatan. Kita baru saja bernafas lega. Pada zaman orde baru NU ditekan, ditindas, didholimi. Usaha warga NU sering disumbat. Karakter warga NU itu mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Banyak alumni pesantren memiliki jiwa enterpreneur. Mereka merintis usaha sendiri dan tidak bergantung pada pemerintah. Jadi petani, punya toko, membangun perusahaan sendiri, atau mendidikan lembaga pendidikan swasta. Kalau lulusan sekolah umum kebanyakan ingin jadi pegawai. Jadi banyak sarjana IPB (Institut Pertanian Bogor) yang jarang turun ke sawah. Kerjanya malah di Rasuna Said dan Thamrin (Kawasan perkantoran di Jakarta).
Bicara sektor pendidikan, apakah Pesantren Salaf yang merupakan basis NU perlu disesuaikan dengan perkembangan jaman?
Kalau ngaji saja nanti kaya khasanah tapi minim metodologi. Kalau sekolah saja, kaya metode tapi materinya kosong. Yang pa-ling bagus adalah mengkombinasikan keduanya dijalankan. Khasanahnya dari pesantren dan metodologinya dari sekolah umum. Banyak tokoh-tokoh besar berasal dari pesantren dan menimba ilmu di universitas. Contoh Jimly Assiddiqie dan Mahfud MD (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Nur Kholis Majid (Cendikiawan), Said Agil Al Munawar (mantan Menteri Agama).
Recent Comments