Berdaulat Pangan

Realitas menunjukkan bahwa setiap tahun kita mengimpor lebih dari 200.000 ekor sapi, 40% kebutuhan gula, 50% kebutuhan garam, 71% kebutuhan kedelai, 90% kebutuhan susu dan ratusan ribu – jutaan ton beras, yang sejatinya adalah ancaman krisis pangan bagi negeri agraris ini.
Selama ini perlindungan terhadap ancaman krisis pangan selalu dibaca sebagai keberhasilan negara dalam menciptakan ketahanan pangan. Dalam hal ini ketahanan pangan dimaknai sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi seluruh penduduk, yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup- baik dalam jumlah maupun mutunya-, aman,  merata, dan terjangkau. Tidak perduli apakah ketersediaan pangan tersebut tercukupi oleh produksi nasional ataupun oleh membanjirnya produk impor. Pemaknaan inilah yang menjadikan negara ini selalu bergantung pada negara lain untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional. Padahal potensi wilayah dengan luas lahan kering sekitar 148 juta ha dan lahan basah termasuk lahan sawah sekitar 42,9 juta ha (Sabiham, 2007), sangat memungkinkan Indonesia mampu berdaulat dalam penyediaan pangan.
Bulan ini, kondisi itu makin diperparah dengan jebloknya rupiah atas dollar yang berdampak besar  pada perekonomian Indonesia, salah satunya kedelai sebagai bahan baku tempe dan tahu.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Kedelai Indonesia, Andre Vincent Wenas menuturkan harga kedelai otomatis terus mengikuti fluktuasi nilai tukar rupiah. Seperti saat ini, harga kedelai telah naik 7% sampai 10% mengikuti besaran pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah melemah 10%. Kondisi itu terjadi karena hingga kini hampir 70% kebutuhan kedelai nasional masih dimpor dari luar negeri, terutama Amerika Serikat yang tentu menggunakan mata uang dolar. Dari kebutuhan 2,5 juta ton kedelai, pasokan kedelai petani nasional hanya mampu memenuhi 700 ribu sampai 800 ribu ton. Masalahnya, ketergantungan bangsa ini terhadap tempe dan tahu dengan bahan baku dari kedelai itu sangat besar. Dan, Indonesia sangat bergantung sekali pada kedelai impor. Karena ketergantungan impor yang sangat tinggi, tentunya gejolak harga di pasar internasional sangat rentan terhadap pasokan di dalam negeri.
Padahal ,tahu tempe terlanjur dikenal sebagai makanan bergizi yang murah. Sementara kita penggemar tahu tempe mungkin bisa beralih ke makanan lain, tapi mengalihkan sumber penghidupan bukan hal yang mudah untuk para pembuat tahu dan tempe. Semoga, makanan asli Indonesia ini tidak akan menjadi barang mahal untuk rakyatnya sendiri. Dan berdaulat dalam penyediaan pangan, tak lagi jadi mimpi. ***

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: