Polemik Mobil Murah

KebFotoijakan mobil murah ramah lingkungan atau low cost green car (LCGC) kini masih menjadi polemik. Di satu sisi mobil murah bakal mendongkrak sektor industri. Namun kebijakan tersebut bakal menuai dampak buruk. Mulai dari kemacetan ibukota hinggga ancaman terhadap ketahanan energi. Menurut anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta Tulus Abadi, beleid tersebut juga berpotensi mengurangi pendapatan negara dari pajak sekitar Rp 10 triliun per tahun. Hal ini akibat pemerintah memberi kompensasi 10 persen dari pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk mobil murah.
Selain itu, konsumsi BBM bersubsidi pun dipastikan meningkat. Alasannya, orang yang tertarik membeli mobil murah ini adalah mereka yang tidak sanggup membeli Pertamax. Bisa dibayangkan berapa besar subsidi pemerintah bila penjualan mobil murah ini meledak. Padahal, jumlah mobil murah diprediksikan mencapai 600.000 unit tiap tahun.
Kehadiran mobil murah pun hanya strategi bisnis belaka. Seperti dikatakan Sekretaris Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surakarta, Umar Hasyim, para produsen mobil ingin lebih kuat mencengkeram pasar Indonesia dengan memproduksi mobil murah. “Mereka ingin membuka pasar baru dengan membuat mobil murah. Setelah mendapat tempat, lama-lama harganya akan naik dan tidak lagi murah,” ujarnya.
Umar mengatakan program mobil murah hanya menguntungkan segelintir orang. Sementara masyarakat miskin yang terimpit beban ekonomi lebih membutuhkan program sandang murah, pangan murah serta transportasi murah dan nyaman. Bahkan ketika peminat mobil murah semakin banyak, akhirnya hukum pasar yang bicara. Yaitu harga akan naik ketika produksi tidak mampu mengikuti permintaan.
Ke depan mobil murah diperkirakan tidak lagi murah. Sama mahalnya seperti harga mobil yang sekarang. “Jangan ikut tergiur memiliki mobil murah karena lebih banyak dampak negatifnya. Kami tidak bisa melarang penjualan. Hanya bisa mengimbau agar masyarakat tidak terjebak ke euforia sesaat mobil murah,” tandasnya.
Keberadaan mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) bisa membuat fenomena pembelian mobil seperti motor. Maksudnya, setiap anggota dalam sebuah keluarga memiliki motor sehingga jumlah kendaraan ini terus bertambah.
“Yang ditakutkan dari mobil murah ini nantinya kendaraan seperti motor di mana setiap keluarga   punya  motor  sebanyak anggota keluarga tersebut. Jadi masing-masing orang punya motor. Ini semakin lama memakan ruang publik yang ujung-ujungnya macet semakin parah,” ujar Mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafi’i Djamal.
Perihal pengertian low cost, menurut dia, sebenarnya bukan harga mobil yang murah tetapi biaya produksi yang rendah. Tetapi untuk biaya perawatan, bahan bakar dan lain-lain juga memakan biaya yang mahal.
“Seharusnya pemerintah bukan memberikan intensif kepada LCGC ini, tetapi kepada kendaraan umum agar bisa menyediakan tiket murah. Dari pada subsidi untuk bahan bakar, akan lebih baik untuk kendaran umum agar ongkos bagi masyarakat bisa murah. Dengan begitu pengendara motor dan mobil juga akan beralih kesana,” kata dia.
Menurut dia, dalam skala kemacetan 1-10, Jakarta sudah sampai pada level 9,5. Maka dengan adanya LCGC ini wacana Jakarta bebas macet menjadi mustahil. Begitu pula kemacetan kota-kota besar lain di Indonesia hampir pasti meningkat.
Keberatan masyarakat terkait kebijakan mobil murah didengar Dewan Perwakilan Rakyat. Wakil rakyat berharap pemerintah sesegera mungkin melakukan uji publik atas kebijakan yang dituangkan dalam PP Nomor 41/2013 tentang low cost green car (LCGC) itu.
“Presiden harus dengarkan masukan masyarakat tentang keberata terhadap kebijakan LCGC. Jangan sampai pemerintah didrive oleh supplier dan coorporate. Sehingga kebijakan tidak mencerminkan kedaulatan rakyat,” kata Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Golkar, Hetifah.
Sebagai negara yang berbasis konstitusi, menurut Hetifah, pemerintah diamanatkan untuk menyediakan angkutan publik yang memadai bagi masyarakat. Yaitu, yang bisa menjamin hak mobilitas bagi setiap warga negara.
Namun, cara pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat atas trasnportasi yang laik melalui kebijakan mobil murah juga harus disesuaikan. Semua kebijakan pemerintah pasti memiliki dampak positif dan negatif. “Hak masyarakat untuk punya mobil sebanyak-banyaknya juga mempengaruhi hak masyarakat lain. Misalnya pejalan kaki, pesepeda, pengguna transportasi umum,” ujar Hetifah.
Presiden SBY, menurut Hetifah harus belajar pada Wali Kota Bogota, Enrique Penalosa. “Penelosa  bilang suatu masyarakat disebut maju bukan karena orang miskin punya mobil, tapi kalau orang kayanya mau menggunakan angkutan publik,” kata dia.
Maka sudah saatnya pemerintah tidak hanya melakukan pembenahan secara fisik dan teknis. Tetapi juga membongkar kebijakan yang salah. Kebijakan LCGC harus ditinjau ulang. Bahkan, dilakukan uji publik, apakah kebijakan tersebut benar-benar tepat dan melayani kebutuhan masyarakat.
Tak hanya itu, kebijakan yang dihasilkan juga harus diarahkan pada pengembangan transportasi publik yang lebih baik. Tidak hanya berbasis mesin dan jalan raya, tetapi juga   mempertimbangkan elemen masyarakat lainnya. (Oki/dari berbagai sumber)

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: