Banyak orang tua tidak merasa khawatir bila anaknya yang masih berusia balita terkesan sangat aktif. Tapi bila aktivitas tersebut sudah di luar batas kewajaran, dan tak dapat terkontrol, perlu diwaspadai apakah anak itu menderita Attention Defisit Hiperactive Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). Anak dengan kecenderungan beraktivitas berlebihan (hiperaktif) dan sulit berkonsentrasi itu, biasanya mulai terlihat pada usia 2 tahun.
ADHD atau GPPH adalah gangguan neurobehavioural atau gangguan fisik di otak. Jadi bukan diakibatkan salah asuhan. Manifestasinya, anak dengan GPPH ini tidak mampu berkonsentrasi dan sangat impulsive atau sering bergerak secara tiba-tiba.
Secara umum ciri yang bisa dilihat pada penderita ADHD/GPPH adalah sulit berkonsentrasi pada suatu aktivitas, dan cenderung terus bergerak. Ia selalu pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lain, dan tak dapat menyelesaikan satu pekerjaan, yang paling sederhana sekali pun, secara tuntas.
Secara umum ada tiga gejala GPPH yang cukup mencolok. Pertama, gangguan pemusatan perhatian (inattention) dengan ciri kurang dapat memusatkan perhatian. Sehingga sering melakukan kesalahan akibat kecerobohan, sulit menerima pelajaran, dan perhatiannya mulai teralihkan.
Kedua adalah hiperaktivitas. Beberapa ciri hiperaktivitas adalah sukar duduk diam, selalu tergesa-gesa, sering menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, sulit bermain dengan tenang, serta berlebihan berbicara. Terakhir adalah impulsivitas (mudah terangsang). Cirinya adalah sulit untuk menunggu giliran, menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan selesai diajukan, sering mengganggu teman, dan sering menginterupsi pembicaraan orang lain.
Sedangkan berdasarkan gejala utamanya GPPH di bagi menjadi tipe dominan hiperaktivitas atau impulsivitas, tipe dominan kurang perhatian, dan tipe campuran antara kedua tipe. Terapi GPPH dapat di lakukan dengan beberapa cara, yaitu terapi farmakologi atau medikasi untuk mengontrol zat-zat yang ada di dalam otak, terapi perilaku, edukasi penderita dan keluarga, serta terapi kombinasi.
Sel otak yang terganggu
Meskipun belum ada angka pasti, namun di dunia angka penderitanya berkisar 3-10 persen dari populasi anak. Sedangkan penelitian Indonesia tahun 2002 pada sejumlah sekolah dasar di Jakarta Pusat, menghasilkan besaran bahwa dari dari 100 anak SD terdapat 4 anak yang kemungkinannya menderita GPPH. Berbicara mengenai penyebab GPPH, meski sudah banyak dilakukan penelitian bahkan sejak bertahun-tahun lalu, namun tidak ada penelitian yang menyebutkan dengan pasti faktor penyebab seseorang bisa menderita GPPH.
Tetapi faktor genetik berperan besar pada GPPH. Ibu-ibu hamil yang mengkonsumsi obat-obatan terlarang, rokok, dan alkohol juga bisa menjadi faktor penyebab GPPH yang diderita anak yang dilahirkannya kelak. Selain itu pada ibu hamil yang mengalami kesulitan pada saat persalinan dan lahir prematur pun bisa menjadi salah satu faktor penyebab, sehingga faktornya bukan hanya satu tetapi banyak faktor.
Penderita GPPH sering mengalami masalah pada fungsi eksekutifnya, yakni kemampuan merancang, mempertimbangkan, dan melaksanakan suatu tindakan. Hal ini karena terjadi kelainan pada struktur dari otak bagian terdepan penderita. Karena itu, bila anak dengan GPPH memiliki prestasi akademik yang rendah, sebenarnya hal itu bukan karena perkembangan kognisinya yang bermasalah. Rendahnya prestasi akademik lebih disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk berkonsentrasi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas.
Mengutip pakar psikiater dari Amerika Serikat, Russel Barkley, kesulitan konsentrasi pada penderita GPPH karena adanya gangguan fungsi pada sel otak yang dipengaruhi oleh hormon dopamine yang berfungsi sebagai neurotransmiter. Anak dengan GPPH mengalami gangguan transportasi antara dopamine transporter dan dopamine reseptor dalam penerimaan dopamine di sel otaknya.
Otak terdiri dari banyak sel dan jaringan. Pada anak dengan GPPH ini pompa yang mengatur keseimbangan pengeluaran dan penarikan kembali dopamine tersebut tidak terdistribusi dengan baik. Karena terjadi gangguan inilah emosi si anak menjadi tidak terkontrol.
Penanganan
Anak dengan GPPH ini bisa diobati. Namun karena penyebabnya sendiri belum terungkap dengan pasti, maka banyak metode terapi yang dilakukan untuk mengatasi GPPH. Salah satunya adalah terapi medikasi atau farmakologi. Terapi ini dilakukan dengan menggunakan obat-obatan sebagai kontrol terhadap kemungkinan timbulnya hiperaktivitas impulsive yang tidak terkendali.
Anak GPPH perlu mendapat obat untuk membantu meningkatkan kemampuan belajar dan mengontrol perilaku. Dengan semakin meningkatnya fungsi eksekutif, anak bisa berkonsentrasi, dapat mengontrol dan mengendalikan emosi.
Tetapi meskipun anak dengan GPPH ini bisa disembuhkan, namun bukan berarti terapi yang dilakukan pun melulu dengan medikasi saja. Diperlukan pula terapi lain yang menyertai terapi medikasi. Terapi yang diterapkan harus bersifat menyeluruh dan melibatkan dokter, psikiater, orang tua, guru, dan lingkungan yang ada di sekitar. Terapi ini ditujukan untuk mengurangi perilaku yang mengganggu, memperbaiki prestasi sekolah dan hubungan dengan lingkungannya, serta mandiri baik di rumah maupun di sekolah.
Penderitaan anak dengan GPPH ini bisa berlanjut hingga si anak beranjak dewasa. Jika sejak awal anak tidak mendapat pengobatan yang baik, maka saat ia menginjak remaja cenderung akan mengalami kenakalan remaja, bahkan depresi, meski tidak sampai ke tingkat bunuh diri.
Menyikapi si Hiperaktif
Hal pertama yang harus dilakukan orangtua anak GPPH adalah menerima dengan sepenuhnya keadaan anak saat ia divonis mengidap GPPH. Jika orang tua mengerti akan keadaan anaknya maka ia pun dapat melakukan pola asuh yang sesuai dengan keadaan si anak. Tapi jika orangtua sendiri sulit untuk menerimanya dan terus menekan si anak, maka ia pun akan makin sulit untuk berorientasi.
Selain itu, orang tua juga harus mempunyai ‘alarm’ terhadap perkembangan anaknya. Alarm yang dimaksud adalah paham akan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak seusianya. Misalnya anak umur dua tahun tentunya sudah bisa berbicara, tapi mengapa anak saya belum bisa? Alarm tersebut sebagai sinyal bagi para orang tua.
Ketika orang tua telah dapat melihat ‘alarm’ itu, ia bisa dengan segera mengkonsultasikannya ke psikiater, dokter, atau pun psikolog.
Dan meskipun sel otak anak GPPH mengalami gangguan seperti yang telah di sebutkan tadi, namun orang tua tidak boleh memperlakukan anak tersebut berbeda dengan anak lain, apalagi menghina atau melecehkannya atau menganakemaskan mereka. Ada baiknya dalam hal ini orang tua membuat aturan-aturan yang telah disepakati bersama dengan anak. Misalnya jadwal mandi pukul 5 sore, beri ia toleransi 15 menit. Lalu katakan padanya ‘kalau kamu tidak mandi pukul 05.15 maka kamu tidak boleh menonton televisi’. Jadi dalam hal ini orang tua juga memberikan hukuman pada hal-hal yang disukainya. Tapi jangan berikan pinalti fisik atau hal-hal yang ia benci, hal itu akan percuma.
Meski begitu, anak dengan GPPH masih bisa bersekolah di sekolah umum layaknya anak normal lainnya. Karena yang bermasalah pada anak GPPH adalah fungsi kontrol diri, emosi dan perilakunya yang tidak berkembang baik sehingga bila diberi obat sejak dini maka fungsi dopamine-nya pun akan membaik. Orang tua juga perlu sabar dan mendukung terapi yang sedang di jalani anak. Jadi, bukan tindakan bijaksana untuk berganti-ganti terapi sebelum tuntas.
Recent Comments