Bingkai by Daryat Arya*

Fanny memandang foto itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tak peduli aku terus menatapnya. Ia hanya menikmati dunianya. “Kenapa kau harus pergi,” katanya pelan.
“Apa yang kamu pikirkan Fan?”
“Tidak apa-apa Lintang, aku hanya sedang berpikir tentang pasukan-pasukan lebah, mereka tak tahu nasibnya, kadang pulang membawa sari bunga atau tak kembali lagi ke sarang”
“Foto siapa itu,” tanyaku penasaran.
“Bukan siapa-siapa, aku seperti lebah yang siap mati, sebelum pulang ke rumah…”
Walau Fanny tak mau mengatakan siapa orang yang ada dalam foto itu, aku tahu dia sekarang sedang menghadapi masalah. Fanny adalah sahabatku sejak SD. Sekarang ini ia menjadi teman kuliahku dengan jurusan yang sama pula. Psikologi. Hari-hari kami adalah rangkaian cerita yang sangat panjang. Hingga beasiswa dari kampus mengantar kami mengunjungi Negeri Sakura. Tanpa sempat mengungkap derap hati di saat mendebarkan.

*
Di ujung yang lain….
Kenangan itu masih berputar. Saat sang ibu belum meninggal.
Bu, jangan paksa aku untuk meminang hati. Semua pasti akan mendapatkan sesuai waktunya.
“Bu jangan paksa aku untuk mengenal pria yang tidak aku tahu asal-usulnya”
“Bicaralah dengan segenap yang kau tahu, jangan bicara yang tak engkau tahu, karena itu akan menyesatkanmu,” kata Lintang kala itu.
Dan, akhirnya aku tak bisa berbuat apa-apa setelah ia meninggalkanku. Aku tahu apa yang Lintang katakan benar. Kenapa aku tak mengindahkannya.
Setelah kuhubungi Lintang, kuputuskan berangkat ke negeri sakura. Meski tujuanku bekerja, dan melupakan lara.
*
Negeri Sakura, bulan kedua….
Benar-benar panas kurasakan. Bagaimana tidak, airnya baru saja mendidih dan tumpah ke arah lantai. Sial, aku lupa memakai alas kaki. Aku melompat ke arah kain lap. Seolah aku adalah burung di atas lautan yang mencari tebing untuk bertengger. Besok, kakiku akan melepuh jika tak segera diobati.
Setiap pagi tugasku merebus air.  Harus bangun lebih awal dari majikan. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain merebus air. Dan ada orang yang mau menerima pekerjaan yang hanya merebus air. Jam kerjaku sangat singkat. Hanya dua jam. Dan setiap dua jam aku pindah dari rumah ke rumah.
Majikan-majikanku adalah orang yang benar-benar tak punya waktu. Sampai mengambil air dan menuangkan diatas panci dan menyalakan kompor tak bisa. Dan yang lainnya jangan tanya, semua dipekerjakan.
*
Di ujung telepon…
“Tang, tolong kamu masuk kamarku saja, tolong ambilkan obat luka bakar di laci meja. Tolong antar ke rumah tempatku bekerja ya..”
Dinding kamar Fanny begitu bersih. Hanya ada satu foto; fotoku. Saat aku mau mengambil buku Panggil Aku Kartini Saja, tak sengaja buku catatan Fanny jatuh, aku lihat tulisan-tulisan terangkai menjadi namaku. Tapi aku kaget setelah kertas yang putih bertuliskan “Lintang, aku menyayangimu!  Bicaralah…, Tuhan takkan membiarkan makhluknya menderita “. Jantungku pasti akan berhenti jika aku memaksanya untuk memilih. Aku menuai rindu. ***

Januari 2013
*Penulis bekerja di Home Schooling Kak Seto Semarang

Catatan:
Buku Panggil Aku Kartini Saja karangan Pramoedya Ananta Toer

Leave a Response

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Refresh Image

*

You may use these HTML tags and attributes: